Hal tersebut merupakan temuan awal dari pemantauan bersama yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alinasi Jurnalis Independen (AJI), Lokataru Foundation, Amnesty, dan LBH Pers.
Dikutip dari siaran persnya, Minggu (26/5), tim mengungkap setidaknya ada 14 temuan terkait penanganan kericuhan yang menjadi sorotan. Yakni, korban; penyebab; pencarian dalang; tim investigasi internal kepolisian; indikasi kesalahan penanganan demonstrasi; penutupan akses tentang korban oleh Rumah Sakit.Selain itu, ada penanganan korban yang tidak segera; penyiksaan; perlakuan keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat; hambatan informasi untuk keluarga yang ditahan; salah tangkap; kekerasan terhadap tim medis.
Tak ketinggalan, penghalangan meliput kepada jurnalis: kekerasan, persekusi, perampasan alat kerja, perusakan barang pribadi; penghalangan akses kepada orang yang ditangkap: untuk umum dan advokat; pembatasan komunikasi media sosial.
![]() |
Kedua, "Terjadi penyimpangan dari hukum dan prosedur yang ada yaitu di antaranya KUHAP, Konvensi Anti Penyiksaan/CAT, Konvensi Hak Anak/CRC, Perkap 1/2009, Perkap 9/2008, Perkap 16/2006 tentang Penggunaan kekuatan, Perkap 8/2010, Perkap 8/2009."
Atas temuan-temuan tersebut, tim merekomendasikan sejumlah hal. Di antaranya, pertama, penyidik Polri harus segara mengirimkan surat tembusan pemberitahuan penahanan kepada masing-masing keluarga yang ditahan.
Kedua, Polri mesti mengumumkan kepada publik secara rinci laporan penggunaan kekuatan dengan mempublikasi Formulir Penggunaan Kekuatan (A): Perlawanan - Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan (B): Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian."Sudah lama, Polri selalu mengklaim menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal tanpa disertai akuntabilitas yang jelas lewat publikasi pelaporan semacam ini," tertulis dalam siaran pers.
Ketiga, Rumah Sakit harus memberikan informasi publik tentang jumlah orang yang dirawat dan meninggal.
![]() |
"Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman dengan melibatkan masyarakat sipil perlu menyelidiki lebih lanjut tentang insiden ini- menemukan dalang di balik peristiwa guna mencegah keberulangan peristiwa dan impunitas di masa mendatang," tandas siaran pers tersebut.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan pihaknya sudah menerapkan prosedur yang sesuai saat melakukan penindakan kericuahan 22 Mei, mulai dari persuasif hingga represif.
"Dan anggota sudah memahami tahapan-tahapan itu," ujarnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyatakan bakal memberikan sanksi jika ada anggota yang terbukti melakukan pelanggaran ketentuan dalam proses pengamanan 22 Mei.Untuk mengetahui pelanggaran itu, ada mekanisme yang mesti dilakukan sebelum akhirnya menjatuhkan saksi kepada anggota.
"Mekanisme dan sidang disiplin, dari mekanisme sidang disiplin itu baru bisa diputuskan pelanggaran dan kesalahan apa yang dilakukan," kata Dedi di Kantor Kemenko Polhukam, Sabtu (25/5).
Berdasarkan data dari Pemprov DKI Jakarta, jumlah korban meninggal dalam aksi 22 Mei adalah 8 orang per Kamis (23/5) pukul 11.00 WIB. Sementara, kepolisian mengatakan korban jiwa berjumlah 7 orang. Korban luka-luka mencapai 730 orang.
(pmg/arh)
http://bit.ly/2HH4cC5
May 27, 2019 at 07:42AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Diduga ada Pelanggaran HAM oleh Aparat dalam Aksi 22 Mei"
Posting Komentar