"Tidak ada alasan untuk optimis bagi China sekarang jika kalian melihat apa yang terjadi," kata Zhou Fengsuo, mantan pemimpin mahasiswa yang jadi orang nomor lima dalam daftar 'Paling Dicari' Beijing setelah peristiwa Xiananmen.
Tinggal di Amerika Serikat, Zhou sempat menyelinap ke China untuk memperingati 25 tahun insiden mematikan Tiananmen, lima tahun lalu. Kala itu, ia memanfaatkan keuntungan transit 72 jam dari visa paspor AS.
"Apa yang tidak terbayangkan setahun yang lalu sekarang menjadi kenyataan. Bahkan, novel 1984 saja tidak bisa sejauh itu," katanya kepada AFP, merujuk pada novel George Orwell tentang kehidupan di negara totaliter.
Harapan Zhou untuk mengobarkan kembali semangat perjuangan Tiananmen semakin pupus karena sebagian besar pengunjuk rasa pada zaman perjuangannya dulu sekarang sudah berusia di atas 50 tahun.
Sebagian besar pengunjuk rasa Tiananmen sekarang sudah berusia di atas 50 tahun. (AFP Photo/Catherine Henriette)
|
"Tidak ada yang optimis akan generasi muda di kampus hari ini. Mereka tumbuh sepenuhnya di bawah bayang-bayang sensor, sehingga itu berarti mereka diindoktrinasi oleh pencucian otak sejak mereka masih bayi," kata Zhou kepada AFP.
Hancur Dilindas Tank
Tak berbeda dari Zhou, Fang Zheng, seorang penyintas Tiananmen yang kehilangan kakinya karena terlindas tank, juga tampak muram mengingat harapannya.
Fang ingat betul, mimpinya mulai kabur ketika melihat tulang-tulang putihnya menyembul dari balik luka yang menganga.
Namun, ia tak patah semangat. Setiap musim semi, Fang pergi ke seluruh dunia untuk menceritakan kisahnya, membawa sedikit harapan untuk masa depan China yang demokratis.
Foto: AFP Photo/Tommy Cheng)
|
"Saya semakin pesimistis, terutama sejak Xi menjadi pemimpin sekarang menggunakan segala macam cara untuk mengendalikan penduduk. Perangkat teknologi tinggi membantu pemerintah untuk mengawasi orang-orang," katanya.
Sebagaimana dilansir AFP, sebagian besar penyintas Tiananmen yang aktif di bidang politik sudah menetap di Amerika Serikat setelah berjuang mendapatkan paspor dari pemerintah China.
Namun, salah satu tokoh pergerakan Tiananmen, Wu'er Kaixi, memilih tinggal lebih dekat dengan kampung halamannya, yaitu di Taiwan.
Lahir dari minoritas Muslim Uighur di China, Wu'er dikenal sebagai orang yang menegur Perdana Menteri Li Peng di televisi nasional saat keduanya bertemu di sela demonstrasi.
Kaixi mengatakan bahwa dia menghabiskan tiga dekade terakhir menyaksikan dengan was-was ketika negara-negara Barat memeluk China, berharap pertumbuhan ekonomi dapat mendorong partai berkuasa menuju liberalisasi politik.
"Mereka menyebutnya perjanjian, saya menyebutnya upaya untuk menenangkan, dan semua ini membuat China menjadi ancaman nyata bagi tatanan dunia dan nilai-nilai universal," katanya kepada AFP di sela-sela konferensi Tiananmen di Taipei.
Selama berbicara dengan AFP, Kaixi terdengar letih karena setiap Juni, sekelompok kecil orang yang selamat dari Tiananmen harus mengingatkan dunia akan 'warisan' tragedi tersebut.
"Bukan lagi tanggung jawab aktivis demokrasi China untuk membawa China menuju kebebasan dan demokrasi. Saat ini, seluruh dunia berbagi kesalahan dan tanggung jawab," katanya. (agn/has)
http://bit.ly/2IjfPhg
June 04, 2019 at 04:07PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Mimpi Demokrasi yang Sirna Para Penyintas Tiananmen"
Posting Komentar