Pemilik bisnis minuman beralkohol dari fermentasi buah salak bermerek Pondoh, Rangga Purbaya tak habis pikir dengan keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melarang peredaran dan konsumsi minuman beralkohol di Indonesia.
Pasalnya, niat yang tertuang di Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol dan sudah diunggah di situs resmi badan legislatif itu berpotensi menimbulkan kemunduran.
"Saya melihat RUU ini kemunduran. Seharusnya diatur, perlu regulasi memang, tapi bukan dilarang, bukan pembatasan ekstrem. Bagaimana pun ada kebebasan bertanggung jawab yang melekat di peminum, responsible drinking, jadi kalau dilarang, itu kan merampas hak individu," ujar Rangga kepada CNNIndonesia.com, Jumat (13/11).
Tak sekadar merampas hak, rencana itu tentu akan berpengaruh terhadap bisnis minuman beralkohol tradisional di Tanah Air. Tak terkecuali, bisnis minuman beralkohol dari fermentasi buah salak yang dirintisnya di Yogyakarta sejak 2013 lalu.
Padahal, bisnis ini hadir tak semata-mata muncul demi meraih cuan untuk kantong pribadi. Namun, ada juga niat melestarikan budaya fermentasi yang telah menjadi warisan nusantara sejak negara ini belum berdiri.
"Ini budaya yang ada di Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi, yang umurnya lebih tua dari negara, apa ini semua mau dimatikan?" imbuhnya.
Selain itu, minuman beralkohol tradisional merupakan alternatif pemenuhan kebutuhan minuman dengan kadar alkohol yang relatif rendah karena terbuat dari fermentasi buah-buahan, seperti salak, nanas, pisang, hingga beras dan ubi. Kadar alkoholnya pun relatif rendah sekitar 10-12 persen.
Sementara dari kaca mata bisnis, ruu tentu akan meredupkan usaha minuman beralkohol tradisional yang mayoritas berskala rumahan kecil dan menengah. Kendati skalanya kecil, namun dampaknya tak cuma ke pemilik usaha, tapi juga pekerja yang terlibat.
"Saya yakin setelah ini (ruu berlaku), semua pengusaha yang produksi minuman fermentasi dan peminumnya akan mempertimbangkan risikonya sebanding apa tidak antara berusaha dengan hukum yang akan dihadapi," ucapnya.
Saat ini, RUU Minuman Beralkohol mengatur poin ancaman pidana penjara selama tiga bulan sampai maksimal dua tahun dan denda paling sedikit Rp10 juta sampai paling banyak Rp50 juta kepada peminum alkohol. Ancaman ini membayangi setiap orang yang meminum alkohol golongan A dengan kadar alkohol 1-5 persen.
Begitu juga peminum alkohol golongan B berkadar 5-20 persen dan golongan C berkadar 20-55 persen. Hukuman juga siap diberikan kepada peminum alkohol tradisional dan campuran atau racikan (oplosan).
Bahkan, dendanya bisa berkali lipat bila peminum dinilai mengganggu ketertiban umum dan mengancam keamanan orang lain. Sanksi yang disiapkan yaitu penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Tak hanya peminum, para pihak yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menjual minuman beralkohol juga bakal kena sanksi. Bagi yang memproduksi ada bayang-bayang kurungan penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.
Sementara pihak yang menyimpan, mengedarkan, dan menjual bisa dijerat pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
"Kalau yang beli saja takut, nanti siapa yang mau beli. Yang buat juga akan berpikir dua kali," katanya.
Ia mengatakan kalau itu terjadi, satu per satu bisnis minuman beralkohol tradisional di daerah bisa gulung tikar. Padahal, bisnis di sektor ini tengah redup akibat tekanan ekonomi dampak dari pandemi virus corona atau covid-19.
Rangga mengaku omzetnya yang semula bisa mencapai Rp10 juta per bulan, kini tak sampai setengahnya. Bahkan, pada awal pandemi pemasukannya nol.
"Dengan pekerja lima orang, jadi kemarin ya bertahan saja mengandalkan tabungan," ungkapnya.
Dampak lain, kata Rangga, RUU ini justru bisa menyuburkan praktik korupsi dan bisnis minuman beralkohol ilegal. Pasalnya ia melihat kebutuhan masyarakat akan minuman beralkohol tentu tidak bisa otomatis dihilangkan.
"Ini akan mematikan industri rumahan dan memunculkan peluang korupsi, nanti akan ada oknum yang cari peluang agar minuman tetap bisa beredar. Yang ilegal pun akan selalu ada di pasar gelap. Alih-alih kami dibantu untuk legalitas, justru malah dipersempit ruang geraknya," tuturnya.
Sebelumnya, Anggota DPR dari Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal, salah satu pihak yang mengusulkan RPP ini mengatakan aturan sengaja dibuat sebagai amanat dari UUD 1945 dan ajaran agama.
"RUU bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol," ucap Illiza.
(uli/agt)https://ift.tt/38U74cP
November 14, 2020 at 08:15AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Rangga, Pondoh, dan Gelisah pada 'Kematian' Akibat RUU Minol"
Posting Komentar