
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan insentif berupa penundaan bayar pita cukai rokok putih di tengah keputusan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 1 Februari 2021 nanti. Penundaan pembayaran pita cukai diberikan untuk 30 hari dari semula 60 hari menjadi 90 hari.
Dengan syarat, penundaan pembayaran diberikan kepada produsen rokok yang berorientasi ekspor. Tujuannya, agar semangat menggenjot produksi untuk pasar internasional. Syarat lainnya, khusus perusahaan rokok berorientasi ekspor yang berada di kawasan berikat.
"Artinya, kita memberi dorongan bagi perusahaan untuk lebih mengekspor daripada mengedarkan di dalam negeri," ungkap Ani, sapaan akrabnya, dilansir Senin (14/12).
Pemerintah berharap kebijakan ini bisa membuat industri rokok tetap tumbuh di dalam negeri, namun 'kebulan asapnya' tidak penuh di Tanah Air, melainkan di negara-negara tujuan ekspor rokok. Dengan begitu, konsumsi rokok di RI bisa ditekan.
Begitu pula dengan cita-cita menurunkan prevalensi merokok di kalangan anak-anak usia 10-18 tahun. Harapannya, prevalensi bisa ditekan dari kisaran 9,1 persen pada 2018 menjadi 8,7 persen pada 2024 nanti.
Sayangnya, menurut Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, cara ini kurang ampuh untuk mengejar harapan-harapan tersebut. Menurut catatannya, prevalansi merokok anak tetap cenderung naik karena kurangnya edukasi dan pengawasan di lapangan.
"Mau tarif cukainya naik atau tidak, pita cukainya ditunda atau tidak, prevalensi merokok di kalangan anak solusinya bukan ini, tapi edukasi," kata Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/12).
Selain itu, lanjutnya, insentif tunda bayar pita cukai sejatinya minim dampak bagi petani dan industri rokok kecil yang lebih butuh dukungan pemerintah. Apalagi di tengah pandemi covid-19 seperti saat ini.
Toh, kebijakan itu hanya menyasar perusahaan rokok kelas kakap yang sudah rajin ekspor. Tak perlu dibantu pun, kinerja perusahaan rokok berorientasi ekspor tetap mampu menggemukkan kantong pemiliknya yang merupakan langganan daftar orang terkaya di dalam negeri.
Sementara, petani tembakau dan industri rokok kecil-kecilan yang bergantung pada pasar domestik justru semakin tertekan karena kebijakan kenaikan tarif cukai dan kurangnya kompensasi kebijakan lain dari pemerintah.
Data yang dikantongi Tauhid menyebut produsen rokok semakin menyusut dari tahun ke tahun dan yang 'gulung tikar' merupakan pabrikan kecil.
Tercatat, jumlah produsen rokok sebanyak 728 pabrikan di 2015 berkurang jadi 715 pabrikan di 2016, 620 pabrikan di 2017, dan 602 pabrikan di 2018.
"Jadi, kalau mau relaksasi seharusnya bukan cuma rokok yang ekspor, tapi perusahaan yang kecil-kecil, yang lokal, itu yang turun drastis, yang banyak PHK dan gulung tikar yang dibantu," katanya.
Masalahnya, ketika kebijakan tidak membantu dan industri mau tidak mau harus tutup, ada ribuan bahkan jutaan pekerja yang bakal terdampak PHK.
Selain itu, kebijakan tunda bayar pita cukai juga tampak tak ampuh menggenjot ekspor karena sebagian besar produksi sejatinya tetap menyasar pasar domestik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor tembakau hanya mencapai 28 ribu ton pada 2016. Volume itu setara nilai ekspor US$128,55 juta. Sementara, impor tembakau sebanyak 81,5 ribu ton dengan nilai US$477,26 juta.
Realisasi ekspor rokok PT Gudang Garam Tbk misalnya, salah satu produsen rokok yang rajin mengekspor hanya sekitar 1,6 persen dari total pendapatan hasil penjualan rokoknya mencapai Rp110,52 triliun pada 2019. Sedangkan, 98,4 persen pendapatannya didapat dari 'jualan rokok' ke masyarakat Indonesia.
"Jadi kalau disebut kebijakannya tetap pro industri rokok secara luas, ini masih belum. Kalau mau dukung ekspor pun, faktanya masih rendah," jelasnya.
Dari sini, Tauhid mengatakan pemerintah seharusnya memberikan kebijakan lain agar bisa tetap menumbuhkan industri rokok di dalam negeri, namun tetap menurunkan prevalensi merokok.
Misalnya, bila produksi ingin digenjot ke ekspor, maka kebijakannya tidak bisa hanya diberikan dalam bentuk insentif tunda bayar pita cukai yang umumnya menyasar perusahaan besar.
Tauhid memberi dua saran kebijakan. Pertama, pemerintah harus bisa membantu industri agar harga rokok Indonesia lebih kompetitif dari negara-negara lain. Saat ini, harga rokok Indonesia sebenarnya sudah cukup baik kompetitifnya, tapi tidak ada salahnya bila ditingkatkan, sehingga pangsa pasar di pasar luar lebih meningkat.
"Sebenarnya harga rokok kita sudah murah di luar, meski tidak murah-murah amat, tapi ini bisa dilihat lagi agar semakin pas dengan pasar luar bagaimana," tuturnya.
Kedua, mampu mengikuti selera pasar luar dan melakukan lobi kerja sama. "Misalnya, Malaysia itu cukup besar ambil rokok kita, pasarnya suka hasil produksi kita, tinggal dilihat bagaimana cara tingkatkannya agar ekspornya naik," terang dia.
Di sisi lain, pemerintah perlu menjaga agar kenaikan tarif cukai segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak begitu tinggi. Sebab, segmen ini mengandalkan banyak pekerja dibandingkan sigaret mesin.
Menurut Tauhid, pemerintah justru harus memasukkan para pekerja rokok skala kecil agar bisa mendapatkan bantuan sosial (bansos). Sebab, mereka turut tertekan ekonominya di tengah pandemi.
Pengamat pajak dari CITA Fajry Akbar mengingatkan agar kebijakan cukai harus diberikan secara hati-hati karena Indonesia masih berada di tahap pemulihan pada tahun depan. Oleh karena itu, ketika tarif cukai rokok naik, maka perlu kompensasi kebijakan lain yang bisa tetap menjaga petani dan industri rokok kecil.
"Saat recovery kebijakan kenaikan cukai tak tepat karena mencari kerja saja masih sulit, diperlukan kebijakan lain yang bisa mengompensasi, termasuk potensi penerimaan cukai yang turun," tandasnya.
(bir)https://ift.tt/3mjmWbQ
December 15, 2020 at 08:15AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Penundaan Cukai Rokok Putih Cuma Gemukkan Perusahaan Kakap"
Posting Komentar