Ahli intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib mencatat aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada Minggu (28/3), merupakan aksi teror ke-552 di Indonesia dalam dua dekade terakhir sejak 2000.
Aksi itu berselang tak lebih dari dua tahun dari aksi bom bunuh diri serupa yang terjadi di Polrestabes Medan November 2019 lalu. Dan berselang tiga tahun dari tiga bom yang meledak di tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018 yang dilakukan oleh pasutri dan empat anak mereka.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menemukan kesamaan dengan pola aksi bom bunuh diri di Makassar dan Surabaya. Keduanya dilakukan oleh pasutri dan menjadikan gereja sebagai target amaliah atau jihad.
Eks terpidana teroris asal Medan, Khairul Ghazali mengamini ada perubahan pola penyerangan oleh para jihadis terutama dalam lima tahun terakhir. Pola itu berubah sejak kekhalifahan ISIS dideklarasikan pada 2014 di Suriah.
Mereka mulai menjadikan rumah ibadah dan kantor kepolisian sebagai target amaliah. Berbeda dengan target teror di awal 2000an, saat target para jihadis adalah kedutaan besar dan tempat maksiat.
"Itu pola Al-Qaeda. Tapi dengan pola ISIS ini, mereka justru menyasar sasaran utamanya yaitu rumah ibadah dalam hal ini agama Nasrani atau kantor polisi yang menjadi pusat tagut," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Selasa (30/3).
Khairul adalah eks terpidana teroris yang pernah empat bulan mendekam di Rutan Mako Brimob. Ia ditangkap pada 2010 karena terlibat perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan dan menewaskan salah seorang anggota Brimob.
Menurut Khairul, aksi bom bunuh diri di Makassar menunjukkan bahwa sel-sel para pelaku terorisme tak pernah tidur. Ia menyebut tak ada kaitan antara penangkapan yang dilakukan aparat sebelumnya.
Menurut dia, penangkapan tersebut justru membangunkan mereka untuk melalukan aksi teror. Khairul menyebut, mereka justru terpacu untuk melakukan balas dendam.
"Jadi di situ selain ada unsur balas dendam juga membangunkan sel-sel tidur dengan penangkapan itu tadi," kata dia.
Petugas melakukan dokumentasi dan olah TKP teror bom bunuh diri di depan Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan. (AFP/ANDRI SAPUTRA)
|
Masih di Makassar, Sulawesi Selatan, polisi sedikitnya menangkap 20 orang terduga teroris pada awal Januari lalu. Dalam penangkapan tersebut dua di antaranya tewas. Kemudian pada akhir Januari polisi kembali menangkap lima orang terduga teroris di Aceh.
Pada Februari, total ada 25 terduga teroris yang dibekuk Tim Datasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Mereka tersebar di beberapa daerah kota dan provinsi mulai dari Jawa Timur, Kalimantan Barat, Jakarta, dan Sumatera.
Sebagian besar di antara mereka terafiliasi dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jemaah Islamiyah (JI).
Khairul membenarkan bahwa semua gerakan teror di Indonesia saat ini memang saling terkait. Dari beberapa yang masih eksis, seperti JAD dan JI, keduanya menginduk ke ISIS.
Meski demikian, Khairul menilai memang ada salah sasaran dari target serangan yang mereka lalukan. Dia mengatakan para jihadis itu saat ini mulai panik sehingga melakukan aksinya secara serampangan. Sebab pada dasarnya, sejak menginduk ke ISIS target mereka adalah sistem pemerintahan. Namun, target itu sulit disasar sehingga mengalihkannya ke aparat dan kantor kepolisian.
"Sudah panik juga mereka sehingga tidak menemukan formula sasaran yang tepat. Jadi mereka asal tendang sana tendang sini. Yang penting bahwa mereka eksis begitu," katanya
Fenomena Teror Pasutri
BACA HALAMAN BERIKUTNYAhttps://ift.tt/3doLcXm
March 31, 2021 at 07:15AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kebangkitan Sel Tidur di Balik Teror Bom Gereja Makassar"
Posting Komentar