Mati-matian Garda Depan Digebuk Pagebluk

Jakarta, CNN Indonesia --

Selly Spadyani sudah merencanakan liburan begitu menyelesaikan program internship atau magang pada Februari 2020. Ia seorang dokter muda yang diambil sumpahnya pada akhir 2018. Usai setahun masa pengabdian, Selly berniat rehat sebelum benar-benar praktik sebagai dokter.

Tapi kenyataan berkata lain. Liburannya batal. Pagebluk keburu dimulai. Kasus pertama Covid-19 terdeteksi di Indonesia pada 2 Maret 2020.

"Sudah susah payah satu tahun (internship), mau free dulu beberapa bulan, tapi ternyata Februari akhir Covid, kan," ujar Selly mengenang awal pandemi kala itu.


Ia tak bisa ke mana-mana. Selly pun memberanikan diri memulai karier sebagai dokter yang ikut menangani pandemi. Ia bergabung dengan tim relawan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta.

Perempuan 26 tahun itu masuk sebagai relawan gelombang kedua. Satu minggu setelah Wisma Atlet beroperasi. Kondisinya masih sepi. Ruang-ruang perawatan hanya diisi alat kesehatan. Jumlah relawan yang mendaftar pun hanya belasan orang per gelombang.

"Orang-orang masih takut jadi relawan. Kalau saya waktu itu nekat aja," katanya.

Selly bertugas sebagai dokter di bangsal dan IGD. Pekerjaannya belum terlalu berat karena jumlah kasus Covid-19 masih merayap.

Pasokan alat pelindung diri di Wisma Atlet, kata Selly, terbilang aman meskipun kualitasnya berbeda-beda. Kadang ia hingga kuyup berkeringat karena mengenakan hazmat seadanya selama delapan jam.

Kadang juga tersiksa mengenakan hazmat berkualitas lantaran harus menahan buang air. Ia rasanya tak rela gonta-ganti pakaian mahal itu sebelum jam kerjanya habis.

"Sayang hazmatnya, kalau kita keluar kita harus ganti lagi. Satu hazmat kualitas bagus itu Rp500 ribu," ujarnya.

Keadaan mulai sibuk pada pertengahan tahun, saat masyarakat tak tahan lagi berdiam diri di rumah. Penularan virus kian meningkat.

"Di awal-awal kan ada lockdown (PSBB) gitu, mereka lebih takut, kan. Cuma karena sudah kelamaan, sudah capek, disiplinnya menurun, jadi kasusnya naik. Akhir bulan puasa sampai Lebaran tuh banyak (pasien di Wisma Atlet)," ujarnya.

Tugas Selly dan para nakes mulai bertambah berat setiap hari. Bahkan, saat Selly pindah tugas ke salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta. Ia beberapa kali harus berhadapan dengan kematian pasien.

Jika pasien tenang, Selly bisa agak santai. Situasi jadi genting ketika pasien mengalami desaturasi, kadar oksigen turun. Momen yang paling ditakutkan baginya adalah happy hypoxia, kondisi saat pasien Covid-19 tak menyadari tubuhnya kekurangan oksigen.

"Yang sering bikin hectic (sibuk) secara tiba-tiba, pasien tenang, enggak mengeluh sesak, tapi cek saturasinya rendah, frekuensi napasnya cepat. Kita deg-degan," ujarnya.

Dokter Selly Spadyani.Dokter Selly Spadyani pernah bertugas menjadi relawan di RSD Wisma Atlet, Jakarta. (Foto: Arsip Pribadi)

Ia pernah menangani seorang perempuan 50 tahun bersama ayahnya yang telah lansia. Dua pasien itu dirawat bersamaan. Perempuan itu dirawat di ruang perawatan, sedangkan ayahnya di ruang ICU karena gejala berat.

Tiap kali bertemu ibu itu, Selly ditanya bagaimana kondisi ayahnya di ICU. Lansia itu kritis dengan alat ventilator yang dipasang di tubuhnya.

Beberapa hari kemudian, perempuan itu sembuh dari Covid-19. Rumah sakit memperbolehkannya pulang. Di hari yang sama, pihak rumah sakit juga mengabarkan sang ayah meninggal dunia.

"Mereka sama-sama pulang dari rumah sakit, tapi dalam keadaan anak ini mengantarkan ayahnya yang meninggal," dia berujar.

Momen itu kerap membayangi Selly meski kejadian serupa terjadi beberapa kali di tempat ia bekerja. Menurutnya, belakangan ini banyak pasien yang berasal dari keluarga yang sama.

Memahami Covid-19

Dua pekan setelah libur panjang akhir Oktober, pasien meningkat. Beban kerja bertambah berat. Selly pun tak punya waktu istirahat di sela delapan jam kerja.

"Biasanya dalam satu jam punya waktu 5 atau 10 menit istirahat, ini saya terus-terusan saja," katanya.

Awal Desember, Selly merasakan pegal-pegal luar biasa. Seluruh badannya nyeri tak tertahankan, dari kepala hingga ujung kaki. Satu butir obat ditelan, rasa nyeri tak pergi. Satu butir lagi ditenggak, tetap saja pegal tak hilang.

Awalnya, ia menduga rasa pegal muncul karena dirinya sedang datang bulan. Dua hari berikutnya, Selly menjalani tes swab rutin dwi mingguan. Ia dinyatakan positif Covid-19.

Selly pun masuk lewat pintu Instalasi Gawat Darurat (IGD), bukan lagi melalui pintu belakang RS seperti biasanya saat kerja. Kini ia dirawat sebagai pasien Covid-19.

Gejalanya tak berat. Namun, ia merasa tertekan secara mental. Selly kerap murung selama menjalani isolasi di rumah sakit.

"Demotivated (kehilangan motivasi) banget, enggak merasa bersemangat sama sekali. Saya jadi paham kenapa orang-orang yang Covid kurang semangat, 'Oh, gini ya rasanya.' Kayak takut tiba-tiba mati aja gitu," tutur Selly.

Enam belas hari diisolasi, ia dirundung kecemasan. Selly bahkan sampai membeli alat pengukur oksigen untuk mengecek sendiri keadaannya setiap waktu.

Ia merasa agak tenang karena punya 'teman seperjuangan'. Rekan kerja Selly juga diisolasi di rumah sakit lain karena Covid-19. Mereka berbagi cerita untuk saling menguatkan.

Dokter Selly Spadyani.Dokter Selly Spadyani pernah terjangkit virus corona. (Foto: Arsip Pribadi)

Saat Selly diisolasi karena Covid-19, sejumlah dokter di rumah sakitnya juga ikut dirawat. Akibatnya, tenaga kesehatan yang masih sehat kebagian jatah kerja ekstra.

Ia menggambarkan satu bangsal bisa diisi 150 orang pasien. Akhir tahun lalu, bangsal-bangsal penuh. Di saat yang sama, nakes tumbang satu per satu.

Biasanya satu bangsal dijaga tiga hingga lima dokter setiap sif. Kondisi pascalibur panjang membuat setiap bangsal hanya bisa dijaga dua hingga empat dokter.

"Memang kewalahan nakes. Kalau satu positif, walaupun cuma satu ya, terasa banget," kata Selly.

Dari situ ia makin menyadari kondisi para nakes sudah tidak baik-baik saja. Mendekati setahun menghadapi pandemi, mereka bergantian masuk ruang perawatan.

Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat 317 dokter meninggal dunia per tanggal 10 Februari 2021. Sementara sejak pertengahan Januari 2021, jumlah tenaga medis yang wafat akibat Covid-19 mencapai 647 orang. Angka itu disebut menjadi yang tertinggi di Asia dan nomor tiga terbesar di dunia.

[Gambas:Instagram]

Begitu sembuh, Selly kembali bekerja di RS rujukan Covid-19. Keluarganya sempat khawatir. Bahkan sang kakak sempat komplain kepadanya. Saat orang-orang berusaha menghindari corona, adik bungsu ini malah terjun melawan Covid-19.

"Ya, namanya pekerjaan. Kalau bukan dokter, sekarang siapa lagi yang menangani Covid? Enggak ada orang lain lagi!" serunya.

Di saat yang sama, para nakes dipertontonkan dengan sikap acuh tak acuh terhadap pandemi. Orang-orang makin sering bepergian di tengah pagebluk yang belum berakhir. Selly merasa kerja keras para nakes yang sudah kelewat batas seakan tak dianggap.

Sementara itu, pandemi telah merenggut kebiasaan Selly berkumpul bersama keluarga. Kini ia harus tinggal sendirian di hotel. Fasilitas itu disediakan pihak rumah sakit untuk para nakes.

Selly terpaksa memilih tak pulang karena hal itu terlalu berisiko bagi keluarga. Orang tuanya yang telah lansia dan ada balita di rumah jadi pertimbangan.

Selama setahun pandemi, Selly baru dua kali bertemu keluarga yang kini tinggal di Depok, Jawa Barat. Pertama, pada Juli 2020 saat menuntaskan pengabdian di Wisma Atlet. Kedua, ia pulang lagi di akhir Desember setelah masa isolasi di rumah sakit selesai.

"Pengen banget gue liburan, tapi kayaknya itu masih belum bisa," ujarnya.

Ia berharap masyarakat dan pemerintah mengerti perjuangan garda terdepan dalam memerangi pandemi. Penerapan disiplin 3M dan 3T perlu diperketat untuk menekan penyebaran Covid-19. Itu saja pesannya.

"Pengen-nya pandemi cepat berakhir," kata dokter Selly.

(pmg/wis)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2NUvPxh

March 02, 2021 at 08:13AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mati-matian Garda Depan Digebuk Pagebluk"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.