Sufisme di Jalur Sutra Bukhara

Gerimis menyambut pagi pertama saya di Bukhara. Langit kelabu tak menunjukkan tanda matahari akan bersinar. Jalanan pun tampak sepi dari lalu lalang warga. Hanya satu atau dua yang melintas dalam balutan jaket tebal menembus dingin. Pukul delapan pagi di Bukhara seperti pukul enam pagi di Jakarta. Kicau burung yang terbang beriringan ditambah embusan angin kencang menyapa awal hari.
Sesekali saya membuka layar ponsel, memantau suhu udara. Dua derajat celcius, cukup membuat kaku jemari. Sambil duduk di pinggiran toko kecil yang belum dibuka, saya mengatur napas dan membuka buku kecil catatan perjalanan.
Bermodalkan payung saya kemudian berusaha menghalau gerimis, memulai beradaptasi dengan kondisi dan kebiasaan di Bukhara. Kota ini mengajak saya berfantasi ke masa lampau. Masa ketika para pedagang dan musafir yang melintasi jalur sutra –yang terentang mulai dari China hingga Italia— berhenti sejenak di persimpangan di Asia Tengah. Dua kota di Uzbekistan, Bukhara dan Samarkand, kerap menjadi lokasi persinggahan mereka.
“Assalamualaikum,” saya mencoba menyapa orang lokal yang melintas sambil meletakan tangan kanan ke dada kiri dan badan sedikit membungkuk. Ini adalah cara atau kebiasaan yang santun bagi masyarakat Uzbekistan untuk menyapa, khususnya orang tua.

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2WR473R

May 19, 2019 at 08:30PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sufisme di Jalur Sutra Bukhara"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.