Joan tak menyangka hari-harinya bakal seperti ini. Sebagai pekerja lepas menjadi kru dan road manager band, jadwal Joan dari pertengahan Maret hingga akhir Mei sebenarnya sudah penuh.
Ia memperkirakan, pendapatan dari pekerjaan selama dua setengah bulan itu bisa menghidupi keluarga kecilnya yang terdiri dari istri beserta dua anak berusia 7 dan 13 tahun.
Pesanan ojek online sendiri kini sangat minim karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Berdasarkan aturan itu, ojek daring hanya bisa mengangkut pesanan makanan, tak bisa membawa penumpang. Menurut Joan, pendapatan dari aplikasi tersebut pun kini tak menentu, satu pesanan dalam satu hari saja sudah syukur.
Di tengah kesulitan tersebut, Joan masih bersyukur karena masih banyak orang yang mengulurkan tangan kepadanya.
"Sekarang ada keajaiban, banyak musisi dan teman-teman mantan tim produksi yang udah mapan membantu gue. Mereka transfer dan kasih sembako tanpa gue minta. Sampai puasa pekan pertama gue bisa bertahan," kata Joan kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Joansyah Permana Putra (Dok. Pribadi)
|
"Gue mulai jadi pekerja lepas kru band itu tahun 2000, saat itu amatir. Kemudian tahun 2001, setelah cukup pengalaman, gue merasa percaya diri bahwa gue kru profesional," tuturnya.
Perlahan tapi pasti, Joan mulai dikenal dan dipekerjakan banyak band. Ia bahkan juga dipercaya menjadi road manager sejumlah band. Kadang, ia merangkap menjadi kru dan road manager.
Selama satu bulan, Joan bisa bekerja menjadi kru dan road manager sebanyak 7 kali. Meski tidak merinci berapa uang yang dibawa pulang, ia mengaku pendapatannya sedikit melebihi upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.
"Ya dicukup-cukupi. Gaya hidup jangan terlalu wah. Kalau pakaian sama sepatu, gue enggak pernah beli, dapat barang endorse dari band. Buat anak istri juga," kata Joan.
Hal serupa juga dialami oleh Ammar Haraki, meski tidak separah Joan.
"Gue baru lulus kuliah Februari kemarin. Dengan ada corona, gue enggak bisa melamar kerja. Sedangkan gue bilang ke orang tua kalau gue ingin kerja di bidang musik," kata Ammar.
Ia sendiri sudah mulai menjadi pekerja lepas kru sejak 2012. Beberapa band yang pernah ia bantu adalah Polka Wars, Mondo Gascaro, Anomalyst, dan Sisitipsi.
Ammar Haraki. (Dok. Feast)
|
Selain itu, ia juga memiliki usaha vendor sound system yang mulai berjalan sejak 2015 lalu. Sampai saat ini, vendor tersebut masih berjalan, tapi sama sekali tidak ada pemasukan lantaran banyak acara musik yang ditunda.
"Pada akhirnya, orang tua gue meminta untuk tetap di rumah supaya aman. Untuk masalah uang, masih ada kelonggaran dari orang tua, walau dari semester 2 gue udah cari uang sendiri," katanya.
Musisi Jalanan dan Kafe
Bukan hanya kru, musisi jalanan dan pemusik yang biasa tampil di kafe atau restoran juga terkena imbas PSBB. Pendiri Institut Musik Jalanan (IMJ), Andi Malewa, mengatakan ada 400 anggotanya yang sudah tidak mengamen dan kehilangan sumber pendapatan.
"Untuk di kawasan Jabodetabek ada 120 anggota, di Yogyakarta dan Semarang ada 280 anggota. Pada ngeluh karena enggak dapat uang karena tidak bisa ngamen," kata Andi.
Sebelum wabah corona melanda, setiap anggota IMJ bisa mendapat Rp250 ribu sehari. Namun kini, mereka hanya bisa mengamen secara online.
Setiap orang hanya bisa mendapat Rp30 ribu dalam sehari. Bisa untuk isi perut, tapi tidak untuk membayar sewa tempat tinggal.
Belum lagi, kata Andi, anggota IMJ harus membeli kuota bila ingin mengamen daring. Ada pula yang sudah berkeluarga sehingga harus membiayai anak serta istri.
"Mungkin saya kemakan omongan. Media suka tanya apa duka IMJ. Saya bilang enggak ada karena kami senang nyanyi terus. Sekarang saya pikir lagi, ini dukanya," ujar Andi.
Andi masih memikirkan berbagai cara untuk membantu anggota bertahan hidup. Ia baru menemukan satu cara, yaitu menampung anggota di markas IMJ bila tidak lagi memiliki tempat tinggal karena tak mampu membayar sewa.
Markas IMJ sendiri berbentuk ruko dua lantai yang terletak di Depok, Jawa Barat. Lantai atas digunakan untuk penyimpanan alat musik dan studio rekaman. Sementara itu, lantai satu yang berluas 4X20 meter biasa digunakan untuk kelas belajar.
"Kalau ada yang enggak mampu bayar kost atau kontrakan, bisa kami tampung di lantai 1," kata Andi.
Setali tiga uang, Agus Donny Iswanto yang merupakan gitaris band No Nation mengalami hal serupa. No Nation biasa manggung dari kafe ke kafe dan resepsi pernikahan.
"Biasanya, setiap Senin sampai Sabtu kami ada jadwal manggung, tapi sejak 18 Maret kami sudah enggak manggung. Pemasukan zero," kata Agus yang karib disapa pakde.
No Nation. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
|
Setiap bulan, ia selalu menyisihkan pendapatannya untuk tabungan. Kini ia hidup dari tabungan, yang ia prediksi bisa untuk bertahan dua bulan ke depan.
Ia juga terbantu oleh istrinya yang memiliki pekerjaan tetap di kapal kargo. Saat ini, istrinya bekerja dari rumah dan masih mendapat gaji seperti biasa.
"Sebenarnya semua kena dampak, bukan hanya musisi. Yang membedakan hanya besar kecilnya dampak tersebut. Saya harap pemerintah bertindak tegas supaya orang-orang bisa patuh (dengan PSBB)," kata Agus. (adp/has)
https://ift.tt/3eOmpvL
April 26, 2020 at 08:33AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jerit Musisi Jalanan dan Kru Panggung Musik Dicekik Pandemi"
Posting Komentar