Adalah Michael Bagus (25) yang menjadi saksi jungkir baliknya sektor pariwisata di tempat itu. Kebetulan, ia memang di kota tersebut sejak November 2019 lalu.
Pria yang akrab disapa 'Bagus' ini menyebut tak perlu menjadi orang asli NTB untuk mengerti kesulitan yang tengah dialami sektor pariwisata di daerah tersebut, termasuk para pekerjanya.
Ia yang bekerja sebagai arsitek lepas bisa melihat kesulitan itu dari pekerjaannya. Ia mengaku setelah virus corona mewabah banyak proyek dan sketsa megah yang telah dirancangnya kini harus dianggurkan di atas meja. Tak hanya itu, ia juga harus relah honornya dipotong. Maklum, sejak wabah tersebut menyebar, pengusaha perhotelan, restoran, dan penyedia layanan penunjang pariwisata lainnya di di daerah tersebut memang tertekan.
Ia bercerita sudah 3 minggu terakhir dirinya menyaksikan kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun domestik terus meredup. Bahkan, beberapa hari terakhir nyaris tidak ada wisatawan yang berkunjung.
Ia berpikir penurunan kunjungan tersebut mungkin sejalan dengan imbauan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah setempat yang melarang adanya perkumpulan warga dalam jumlah besar.
Segendang sepenarian dengan Bagus, Ketua Asosiasi Agen Perjalanan dan Wisata Indonesia (Asita) NTB Dewantoro Umbu Joka memang menyebut pendapatan di sektor pariwisata di daerahnya memang hancur sejak virus corona mewabah.
Saat ini, praktis tidak ada pendapatan yang bisa diharapkan. Terutama, setelah pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larang terbang demi mempersempit penyebaran virus corona.Dia menyebut, sejak pemberlakuan PSBB terutama di Jabodetabek pada pertengahan April, kunjungan wisatawan di daerahnya yang sebenarnya sudah meredup, ikut terimbas dan bahkan samakin parah.
Dalam perhitungannya, sektor pariwisata di NTB kehilangan pendapatan sebesar Rp10 miliar per hari karena masalah tersebut.
Hanya di Gili saja, katanya, per hari ada 2.000 wisatawan baik yang tinggal di Lombok mau pun yang pulang hari. Estimasinya, rata-rata per wisatawan menghabiskan Rp5 juta per hari.
Artinya, sejak sebulan terakhir sektor pariwisata NTB telah kehilangan pendapatan sebesar Rp300 miliar. "Semua sudah tutup, mau hotel, restoran, penjual oleh-oleh, enggak ada lagi yang buka, sudah nol pendapatan," ungkapnya.Di tengah pendapatan yang melayang itu, pihaknya masih harus dipusingkan dengan beban biaya operasional yang terus jalan. Meski hampir semua karyawan telah dirumahkan, namun pesangon masih harus dibayarkan.
Belum lagi beban listrik dan air yang terus jalan. Dia pun mencurahkan harapannya kepada 'mitra' kerjanya yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Pasalnya, kementerian tersebut ia nilai lamban menangani masalah yang dihadapi sektor pariwisata. Katanya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan ASITA telah dipanggil dan dimintai data lengkap dari jumlah pekerja, hingga potensi pendapatan.
Namun hingga saat ini hanya kesunyian yang didapat organisasinya."Buru-buru diminta datanya, semua sudah kami serahkan lalu tidak ada action cepat seperti tidak ada simpati. Kalau mau jadi mitra kerja jangan lah kalau senang saja kami digenjot, promosi untuk meningkatkan devisa negara tapi susah saat ini diam saja," ungkapnya.
Ia mendesak Kementerian terkait untuk segera bergerak jika tak mau para pekerja pekerja yang telah dirumahkan terus turun kelas dan menjadi miskin. Dalam opininya, penanganan akan lambat jika permasalahan ketenagakerjaan dilimpahkan ke Kementerian Ketenagakerjaan.
Harapannya, pemerintah dapat bergerak membantu masyarakat dari sektor masing-masing. Untuk pariwisata biarlah diurus oleh Kemenparekraf.
[Gambas:Video CNN]
"Tidak semua agen perjalanan itu besar, di anggota kami ada yang besar sekali juga ada yang pas-pasan. Kami hanya mengharapkan bantuan untuk survive hingga beberapa bulan ke depan," pintanya.
Menyahut pernyataan Dewantoro, Vionny R (23), koki di salah satu hotel di Wakaibubak Wanokaka, Sumba, NTT mengaku bekerja terakhir dan menerima tamu di hotelnya pada 29 Maret lalu. Setelah itu, dia dirumahkan.
Sejatinya ia ingin pulang ke rumah orang tuanya di Surabaya. Namun mendengar pemberitaan kasus positif virus corona di Surabaya yang tinggi, ia mengurungkan niatnya.
Kini, rencananya merantau dan menyisihkan uang untuk bekal bekerja ke keluar negeri suatu saat harus ditunda. Sebab, tabungannya harus digunakan untuk ongkos hidup sehari-hari hingga waktu yang belum ditentukan.
Boleh dibilang, Vionny tak mendapat jaring pengaman sosial yang digaungkan oleh Presiden Jokowi di setiap rapatnya. Jauh dari rumah, masalah tak punya asuransi jiwa, atau pun tabungan tebal membebani benaknya setiap bangun tidur.Sebenarnya, ia ingin ikut program Kartu Prakerja. Namun, ia pun belum berhasil mengakses program tersebut.
"Sudah pernah coba dari awal tapi enggak berhasil, loading-nya lama banget. Kali karena di sini internet juga sinyalnya cuma di depan rumah aja dapet-nya," katanya.
Vionny mengaku belum punya rencana ke depannya selain bertahan hidup mengandalkan tabungannya untuk sementara waktu hingga ia bisa pulang ke kampung halamannya di Surabaya. Dia bilang, berpikir positif adalah kuncinya agar tidak stress.
"Positive thinking aja sama nonton drama Korea," katanya diselingi tawa.
(wel/agt)
https://ift.tt/2SqnHDA
May 01, 2020 at 07:25AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Drama Korea dan Remuk Redam Wisata di Sumba karena Corona"
Posting Komentar