Klaim Jokowi dan Keterbukaan Data Corona yang Rapuh

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Jokowi mulanya mengklaim semua data korban virus corona di Indonesia dipaparkan secara terbuka, tidak ada yang ditutupi. Jumlah korban terinfeksi, meninggal dan sembuh yang diumumkan merupakan realitas utuh di lapangan.

"Tidak ada sejak awal kita menutup-nutupi masalah yang ada (soal corona)," kata Jokowi,  Senin (20/4).

Reuters, kemarin, dalam laporan bertajuk 'Exclusive: More than 2,200 Indonesians have died with coronavirus symptoms, data shows' mengungkap data bahwa lebih dari 2 ribu orang di Indonesia meninggal dengan gejala corona. Bahkan, data itu diambil dari hanya 16 dari total 34 provinsi di Indonesia yang terinfeksi corona.


Pemerintah tak membantah mengenai laporan itu. Pemerintah menyebut kematian tersebut dimungkinkan bagi warga berkategori pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP) terkait corona.
Ketua Pakar Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui ada 19.897 orang yang diduga terjangkit corona di Indonesia belum diuji. Alasannya, antrean panjang spesimen yang menunggu diproses di laboratorium yang kekurangan staf. Beberapa orang, kata dia, telah meninggal sebelum sampel mereka dianalisis.

"Jika mereka (laboratorium) memiliki ribuan atau ratusan sampel yang perlu mereka uji, mana yang akan mereka berikan prioritas? Mereka memberikan prioritas kepada orang-orang yang masih hidup," katanya.


Penelusuran Kematian PDP

Berdasarkan olah data manual yang dilakukan CNNIndonesia.com per Selasa (28/4), tercatat hanya 11 provinsi yang memberikan informasi mengenai angka kematian PDP di daerahnya.

Sementara itu, hanya tiga provinsi yang mengungkap angka kematian berdasarkan kategori ODP.

Kemudian tak semua provinsi memiliki situs Covid-19 yang bisa diakses untuk masyarakat memantau perkembangan. Tercatat Sulteng, Kalbar, Kaltara, Papua Barat, Papua dan NTT tak memiliki situs pantau Covid-19.

Dari data yang dihimpun, total angka kematian dari kategori PDP mencapai 616 orang. Tersebar di Banten (144 orang), Yogyakarta (7 orang), Jawa Timur (235 orang), Riau (75 orang), Bengkulu (9 orang), Lampung (13 orang), Aceh (1 orang), Sulsel (81 orang), Sulbar (4 orang), Kalbar (42 orang), dan Papua Barat (5 orang).

Sementara itu, hanya tiga provinsi yang mengunggah informasi soal kematian seseorang dalam kategori ODP dengan angka kematian mencapai 55 orang. Tercatat di Jawa Timur 53 orang dan masing-masing satu orang di Bengkulu dan Lampung.

Kewajiban yang luput

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengatakan pemerintah mesti terbuka menyikapi laju angka kematian individu baik berstatus ODP maupun PDP corona.

Pemeriksaan status PDP dan ODP yang meninggal, kata dia, pun harus ada pembuktian.

"Sebab PDP pasti sudah diambil swab tenggorokannya. Maka ketika dia positif harus dinaikkan sebagai kasus positif, hanya saja statusnya sudah meninggal dunia, kan gitu," ujar Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Bahkan menurutnya, ketika ada orang yang mulanya ODP, kemudian dia diperiksa swab tenggorokan namun lebih dulu meninggal, maka semestinya statusnya naik sebagai Covid-19.

"Jadi harus tetap diperhitungkan dan harus fair," tegas dia.

"Dan memang harus diumumkan. Sekarang kan sudah ada dasar hukumnya, ada instruksi presiden bahwa kasus ODP dan PDP juga harus dibuka ke ruang publik," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), Dadang Rahmat Hidayat mengatakan pola komunikasi yang dilakukan pemerintah merupakan sebuah pilihan. Belum mengarah pada dugaan untuk menutupi fakta yang sebenanya.

Lagipula, kata dia, bukan hal yang salah ketika pemerintah memprioritaskan memberi kepastian terhadap pasien-pasien yang masih hidup. Dadang juga menyoroti ada upaya positif pemerintah menekan kecemasan di masyarakat.

"Pemerintah telah berani mengakui mengenai laporan tentang 2.000 orang yang meninggal, itu hal yang baik. Dalam situasi ini, adalah sebuah pilihan yang diambil pemerintah," ujar Dadang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Bisa jadi, kata Dadang, pilihan tersebut diambil di tengah ketidakmampuan dan keterbatasan sistem kesehatan nasional, dibandingkan banyaknya penularan Covid-19 di Indonesia.

Namun demikian, Dadang menegaskan pilihan pemerintah tersebut bukan tanpa ekses negatif. Salah satunya, masyarakat akan menjadi abai dan menganggap virus corona belum massif di Indonesia.

Dadang juga menambahkan, justru akan menjadi sebuah kejahatan komunikasi, ketika dalam kondisi pemerintah mampu mendeteksi para PDP-ODP yang meninggal, namun itu tak dilakukan.

"Kejahatan komunikasi karena berupaya menutupi informasi," tegas Dadang yang juga Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran tersebut.

Per Selasa (28/4), Jubir Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto menyebut sebanyak 213.644 ODP dan 20.428 sebagai PDP. Paparan Yuri hanya sebatas berapa banyak orang yang selesai pantau dan diawasi--bukan yang meninggal dunia.

"Kalau meninggal enggak pasti covid apa saya harus sebut?," ujar Yurianto, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Insert Status Pasien Risiko Virus CoronaFoto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Insert Status Pasien Risiko Virus Corona

Meski tak mengungkap datanya, namun Yuri mengklaim bahwa pemerintah tetap melakukan rekap mengenai perkembangan kematian individu berstatus PDP dan ODP di masing-masing daerah.

"Saya enggak bawa datanya," ujar dia.

Terpisah, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Didik Budijanto menolak berkomentar mengenai temuan lebih dari 2.000 orang tersebut.

"Berita itu terus terang saya belum tau, tapi yang jelas bahwa PDP-ODP itu datanya dari daerah kita ambil Dinkes di daerah, dan update terus," ujar dia. (tim/ain)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/3d4NZmZ

April 30, 2020 at 09:10AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Klaim Jokowi dan Keterbukaan Data Corona yang Rapuh"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.