Berdasarkan dua survei terakhir, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Media Survei Nasional (Median), menyatakan tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah pusat mencapai angka lebih dari 50 persen.
Median yang melakukan survei pada 6-13 April 2020 menyebut 52,4 persen warga puas dengan intervensi pemerintah pusat dalam menanggulangi penyebaran virus corona (covid-19). Survei ini dilakukan terhadap sampel 800 nomor telepon responden dengan margin of error kurang lebih 3,46 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Tiga alasan teratas publik puas terhadap hal itu di antaranya adalah pemerintah pusat sudah melakukan yang terbaik (19,4) persen; Cepat Tanggap (10,7) persen; dan Pemerintah Pusat mempunyai kinerja bagus dalam penanganan covid-19 (8,7) persen. Sementara itu terdapat 40,1 persen publik yang tidak puas terhadap penanganan pemerintah pusat atas covid-19 ini. Tiga alasan teratas yakni Penanganan Lambat (18) persen; Tidak ada antisipasi dan menganggap enteng (16,7) persen; dan Koordinasi Buruk (15,3) persen.
Sedangkan dalam rilis survei SMRC, Jum'at (17/4), menyebutkan mayoritas warga (52) persen menganggap pemerintah pusat cepat menangani wabah virus corona, sementara 41 persen menganggap lambat. Survei ini dilakukan pada 9-12 April 2020 terhadap 1.200 responden yang diwawancarai melalui telepon dan dipilih secara acak, dengan margin of error 2,9 persen.
Kedua survei itu dilakukan setelah enam minggu lebih kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.
Pengungkapan kasus perdana itu seakan menjawab keraguan dunia yang lebih dulu berpendapat bahwa virus yang berasal dari Wuhan, China, sudah bertandang di Indonesia. Pun, terungkapnya kasus itu seolah menyentil ketidakpercayaan pejabat yang sebelumnya menyangkal dengan pelbagai pendapat guyonannya.
Kasus pertama itu merupakan dua warga Depok, Jawa Barat, yang tertular dari Warga Negara Jepang di Klub Dansa pada 14 Februari 2020.Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengonfirmasi kedua orang tersebut positif terinfeksi Covid-19 setelah menjalani tes di Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso pada 1 Maret 2020. Menindaklanjuti ini, pemerintah melakukan tracking kepada kelompok dansa yang terdiri dari kurang lebih 50 orang.
Pemerintah dinilai tertutup dalam memberikan informasi mengenai kasus berikut lokasi ditemukannya kasus. Achmad Yurianto yang kemudian didapuk menjadi Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan covid-19 ini mengatakan pihaknya lebih berhati-hati dalam mengungkapkan informasi terkait penelusuran kasus karena tingkat pemahaman masyarakat Indonesia tidak seperti di negara-negara lain.
Tak berselang lama, kasus terus bertambah. Bahkan, Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi dinyatakan positif terinfeksi covid-19 setelah 12 hari kasus pertama diumumkan. Namun, pemerintah masih dianggap lambat dalam menekan penyebaran virus covid-19.
Kebijakan yang Dipertanyakan
Banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dipertanyakan publik.
Misalnya, Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/Menkes/182/2020 tentang jejaring laboratorium pemeriksaan corona virus disease 2019 (covid-19). Aturan yang ditandatangani oleh Menkes Terawan Agus Putranto pada 16 Maret 2020 tersebut berisi sembilan diktum.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyoroti diktum kelima huruf e yang menurutnya berpotensi menambah jumlah kasus karena lambatnya pemberitahuan.
Diktum 5 huruf e itu menjelaskan bahwa informasi hasil pemeriksaan positif Covid-19 hanya dapat dikeluarkan oleh Laboratorium Rujukan Nasional Covid-19 atau dalam hal ini Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Sementara yang dapat melakukan pemeriksaan terhadap spesimen covid-19 juga merupakan tugas 12 Laboratorium Pemeriksa covid-19 yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia."Diktum 5e menyebabkan penanganan lambat sehingga kondisi pasien berpotensi memburuk dan menularkan juga ke orang-orang karena lambat pemberitahuan. Enggak heran ada yang sudah meninggal dan baru dibilang atau diketahui kena corona," kata Asfinawati dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Pada 31 Maret 2020, Jokowi menetapkan status darurat kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020. Ia juga menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Infeksi Virus Corona (Covid-19).
Setiap pasalnya memastikan tiap-tiap daerah yang ingin melakukan karantina wilayah yang kemudian disebut dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mesti meminta izin terlebih dulu ke pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan yang saat ini dipimpin Terawan Agus Putranto.
Persetujuan Terawan juga akan diberikan setelah mendapat pertimbangan langsung dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penyelesaian Corona, Doni Monardo.Terawan menindaklanjuti perintah Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Aturan ini lagi-lagi mendapatkan kritikan.
Alur penetapan PSBB dinilai terlalu panjang dan memperlambat kerja penanganan covid-19 di daerah.
Data per Sabtu (18/4), menyebutkan sejumlah daerah yang telah mendapatkan persetujuan Menteri untuk menerapkan PSBB. Di antaranya adalah klaster Jabodetabek, Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kota Pekabaru, Sumatera Barat, dan sebagainya.Penerapan PSBB ini juga dipandang belum dapat menekan penyebaran covid-19.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengkritik hasil survei dua lembaga di atas dan menyoroti pelaksanaan PSBB yang sudah berlangsung sepekan di DKI Jakarta.
Ia menyampaikan ketidakberhasilan penerapan PSBB mengacu kepada realita di lapangan yang masih banyak warga ke luar rumah dan tidak menggunakan masker.
"Apa bedanya PSBB sama social distancing, enggak ada bedanya. Bikin bingung aja. Namanya PSBB harusnya ditindak, ada sanksinya kok. Terus kenapa Menteri Perindustrian kasih izin sekian ratus perusahaan yang enggak ada hubungannya dengan yang tidak esensial," kata Agus kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (18/4) malam.Ia berpendapat pemerintah pusat masih belum terbuka soal data jumlah kasus covid-19 sampai saat ini. Berdasarkan informasi yang diterimanya, Agus menyatakan bahwa apa yang sudah diumumkan pemerintah hingga kini baru lima persen saja.
"Makanya angka kematian persentasenya masih tinggi. Lho, kalau itu angkanya 100 ribu kan bagi yang itu enggak sampai 8 persen, kan biasanya 2-3 persen kematiannya, kita tinggi karena itu tadi, datanya tidak ada yang bisa menjamin," sambungnya.
Senada, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat bahwa pemerintah pusat tidak terbuka dalam memberikan informasi seputar kasus covid-19 meskipun belakangan Jokowi pada akhirnya memerintahkan agar data terkait Orang dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien dalam Pengawasan (PDP) dibuka.
"Tertutup. Jadi, menginformasikan ODP, PDP-nya kita itu lambat. Harusnya semenjak Presiden menetapkan ada dua orang, itu harusnya segera membuka langsung semua," ucap dia ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Sabtu (18/4).Terkait apresiasi publik yang masih tinggi terhadap kinerja pemerintah pusat atas penanganan covid-19, ia berujar bahwa hal itu dapat dimaknai sebagai bentuk penghargaan yang diberikan masyarakat.
"Jadi, soal survei sih saya respect dalam arti bahwa itu satu fenomena yang berhasil ditangkap bahwa masyarakat masih percaya sama pemerintah. Karena kalau sampai enggak percaya, berbahaya," tutupnya. (ryn/asa)
https://ift.tt/3bmHH1l
April 19, 2020 at 09:08AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Publik yang Percaya Jokowi dan Jalan Panjang Data soal Corona"
Posting Komentar