Ambisi Besar Pilkada Saat Rekor dan tak Keruan Data Corona

Jakarta, CNN Indonesia --

Kasus harian covid-19 tembus rekor pada Kamis (3/12), 8.369 kasus. Lebih tinggi 2.836 atau hampir setengah dari kasus sehari sebelumnya, yakni 5.533 pada Rabu (2/12).

Pecah rekor terjadi pada enam hari menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah. 100.359.152 orang akan memilih di bilik suara, menurut hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Satgas Covid-19 berdalih lonjakan kasus karena kendala teknis: sistem pelaporan data di daerah belum optimal. "Papua pada hari ini melaporkan sejumlah 1.755 kasus, yang mana merupakan akumulasi penambahan kasus positif sejak 19 November hingga hari ini," katanya.


Terlepas dari alasan pemerintah, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Profesor Zubairi Djoerban mengungkap terdapat peningkatan penularan virus atau positivity rate secara nasional.

Menurut data yang juga dipaparkan situs corona.jakarta.go.id, positivity rate nasional dalam lima hari terakhir mengalami peningkatan.

Pada Sabtu (28/11), positivity rate nasional ada di angka 14,7 persen. Selang tiga hari kemudian, Selasa (1/12), angkanya sempat turun menjadi 14,6 persen. Namun angkanya terpantau naik hingga 14,7 persen, kemarin.

"Ini yang bicara angka, bukan pendapat. Jadi seharusnya kita semua sepakat, ini bukan pendapat Zubairi atau pendapat siapa. Ini angka menunjukkan bahwa minggu-minggu terakhir cenderung naik, jelas," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (3/12).

Zubairi menekankan, di akhir tahun ini dan awal tahun depan akan ada setidaknya tiga momentum besar yang bisa berdampak signifikan pada penyebaran covid-19 nasional. Yakni pilkada, libur panjang, dan pembukaan sekolah.

Ia menyebut ketiganya harus dilihat sebagai satu kesatuan karena terjadi di kurun waktu yang hampir bersamaan. Dan semuanya memungkinkan eskalasi mobilisasi massa yang besar.

Melalui cuitannya di akun Twitter, ia menegaskan jika positivity rate nasional masih diatas 10-15 persen secara terus-menerus. Dia berpandangan, lebih baik Pilkada ditunda demi keselamatan masyarakat.

"Karena kalau dilanjutkan, khawatir nanti terjadi penularan yang besar. Apalagi akan ada tiga [momentum di] waktu yang berdekatan banget, antara libur panjang, pilkada dan sekolah," jelasnya secara lisan.

"Saya selalu bilang, kita lupakan dulu pandangan politik. Pekerjaan pertama mengatasi Covid ini. Artinya tolong dipertimbangkan lagi, karena jelas sekali terjadi peningkatan," lanjutnya.

Menurutnya, dalam hal ini pemerintah harus berani bertindak. Ia mengatakan sebuah kebijakan harus didasari oleh data dan kondisi epidemiologi terbaru.

Menurutnya, tindakan seperti ini pun dilakukan di negara-negara lain. Baik di China, Korea, Inggris, kebijakan membuka dan menutup kembali sekolah, bahkan menerapkan kembali lockdown atau penguncian dilakukan secara dinamis, tergantung keadaan pandemi.

Pendekatan serupa seharusnya bisa diterapkan pada keputusan menggelar Pilkada. Keputusan pemerintah meneruskan perhelatan tersebut menurutnya harus didasarkan oleh perkembangan kasus saat ini.

"Kebijakan yang lalu benar, Pilkada lanjut karena waktu itu [kasus] turun. Nah sekarang naik, mohon dipertimbangkan lagi. Ini kan jadi berisiko," tambahnya.

Jaminan keselamatan jadi prioritas

Terpisah, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengaku gagal paham dengan keputusan pemerintah melanjutkan Pilkada dengan kondisi epidemiologi saat ini.

Menurutnya tak ada alasan lain yang dipakai pemerintah ketika berkeras menggelar Pilkada. Dia menilai saat ini memang bukan kondisi yang ideal untuk tetap ngotot menggelar pilkada.

"Setelah habis masa jabat [kepala daerah saat ini], memang ada risiko [kekosongan jabatan]. Tapi ada yang mempunyai kewenangan mengisi jabatan, dalam hal ini Kemendagri. Yang mengisi nantinya dari ASN/PNS," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.

Jika situasi seperti ini terjadi, artinya akan ada 270 daerah yang kepala daerahnya diisi oleh pelaksana tugas atau pejabat sementara. Kaka mengatakan ini akan berdampak pada pergeseran masa jabatan kepala daerah ke depannya.

Namun ia menilai kesulitan ini perlu dihadapi demi meminimalkan potensi lonjakan kasus. Ia justru berpendapat krisis politik lebih potensial terjadi jika pemerintah abai dengan penanganan corona.

Ia menjelaskan krisis politik sesungguhnya berdasar pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika pemerintah tidak bisa menempatkan keselamatan masyarakat sebagai prioritas, sambung dia, kepercayaan itu bisa hilang.

"Krisis politik itu urusan trust, ini masalah trust," tuturnya.

Kepercayaan tersebut, menurut Kaka dapat dibangun dengan memberikan kepastian dan keamanan. Misalnya pemerintah memutuskan menunda Pilkada, namun dengan kepastian selama ditunda masyarakat divaksin.

"Nah itu akan memberikan kenyamanan dan membangun trust. Ini kan yang tidak muncul di pemerintah terkait kebutuhan itu. Ada kebutuhan trust dan ada kepastian. Ini yang tidak diberikan," lanjutnya.

Ia pribadi mengaku ragu akan keamanan yang bisa dijamin pemerintah dalam perhelatan Pilkada yang bakal digelar masif itu. Menurutnya, dalam keadaan normal saja data yang diberikan pemerintah belum tentu bisa menunjukkan keadaan wabah sebenarnya karena testing yang belum memadai.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar pemeriksaan corona minimal 100 ribu orang per satu juta penduduk. Dengan asumsi penduduk Indonesia ada 267 juta jiwa, artinya dalam seminggu harus ada 267 ribu orang yang diperiksa.

Namun berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, sejak Maret hingga November target itu belum pernah tercapai. Minggu keempat November lalu jumlah pemeriksaan mencapai 90,64 persen target. Pencapaian tertinggi selama pandemi ini.

(fey/ain)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/3lJ4gSj

December 05, 2020 at 08:01AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ambisi Besar Pilkada Saat Rekor dan tak Keruan Data Corona"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.