
Sejumlah pengamat melihat ancaman hambatan investasi masuk ke Indonesia melalui kebijakan pengeluaran limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pasalnya, investor saat ini sangat peduli terhadap isu investasi yang ramah lingkungan alias environmental, social, and governance (ESG)
Kebijakan pengeluaran limbah batu bara tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan aturan turunan dari UU tentang Cipta Kerja.
Adapun yang dikeluarkan dari kategori Limbah B3 itu adalah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan tren investasi saat ini berbeda dengan penanaman modal pada dekade 1970-1980-an.
"Sekarang tren dunia justru investasi ke arah lindungi lingkungan, ini bukan investasi seperti era 70-80an yang babat hutan, melakukan pencemaran, bukan lagi seperti itu, investor yang masuk sangat peduli dengan ESG," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/3).
Menurutnya, pemerintah sudah paham betul terhadap kondisi tersebut. Namun, dalam hal ini pemerintah kurang transparan mengenai latar belakang pengambilan keputusan tersebut, sehingga menimbulkan persepsi buruk di masyarakat.
"Saya kira persepsi itu di masyarakat bisa timbulkan reputational risk bagi Indonesia dan reputational risk artinya, kalau Indonesia dipandang risiko reputasinya tinggi maka investor mungkin tidak akan masuk ke Indonesia. Kalaupun mereka masuk mereka akan minta kompensasi macam-macam, tentu ini merugikan dari sisi negara," ucapnya.
Ia mengatakan, sebetulnya, pemerintah memiliki alasan mengeluarkan FABA dari kategori B3. Alasannya, tidak semua kandungan limbah FABA di Indonesia masuk dalam kategori bahaya, karena kandungan arsenik atau logam berat lainnya lebih rendah.
Sayangnya, alasan tersebut tidak dijelaskan secara gamblang dan transparan oleh pemerintah kepada publik. Karenanya, ia mendorong pemerintah terbuka dengan alasan kebijakan itu sehingga tidak ada persepsi yang muncul di publik bahwa pemerintah melakukan apapun termasuk mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik hanya untuk mendapatkan investasi.
"Yang saya khawatirkan justru nanti niatan pemerintah tarik investor justru akan kontraproduktif, karena investor melihat ada reputational risk yang tinggi di Indonesia," katanya.
Terlepas klaim pemerintah yang menyatakan tidak FABA di Indonesia bahaya, Fabby menilai pengelolaan limbah FABA nantinya tetap penting. Alasannya, meski tidak bahaya, FABA masih berdampak pada lingkungan.
Ia mengatakan jika limbah FABA bercampur dengan air, maka konsentrasinya menjadi tinggi sehingga menjadi lumpur. Selanjutnya, lumpur tersebut bisa mencemari lingkungan seperti air tanah dan sungai.
"Kalau tidak dikategorikan limbah B3 itu pengelolaannya seperti apa, karena dia tetap punya dampak pada lingkungan FABA itu. Saya melihat kondisi sekarang itu lebih esensi, karena keputusannya sudah ditandatangani presiden, kecuali kalau mau dibatalkan tapi saya kira sepertinya tidak dibatalkan," katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengaku tidak mendukung kebijakan tersebut. Ia menilai seharusnya pemerintah tetap mengedepankan faktor kesehatan masyarakat dan lingkungan di atas investasi.
"Saya juga tidak terlalu mendukung hal ini karena biar bagaimanapun jangan sampai kesehatan masyarakat dan lingkungan dikorbankan untuk hal-hal yang terkait dengan investasi, karena dampaknya pun masih ada sampai sekarang, walaupun memang ada teknologi yang bisa reduce (mengurangi) limbah tersebut agar tidak lagi masuk kategori B3," ucapnya.
Sepakat dengan Fabby, ia menilai kebijakan tersebut justru mengancam investasi ke Indonesia, alih-alih mendorong modal masuk seperti yang diharapkan pemerintah. Pasalnya, hampir semua negara khususnya negara maju mulai sadar mengenai investasi berbasis lingkungan berkelanjutan.
"Ini akan menjadi salah satu pertimbangan ke depan, saya yakin banyak lembaga investasi yang perhitungkan komitmen-komitmen yang lebih green, itu yang saya kira ke depan akan ganggu investasi kita. Apalagi kalau Paris Agreement direalisasikan, negara lain akan perhatikan perkembangan green energy kita," ucapnya.
(ulf/sfr)
https://ift.tt/3rVeXVG
March 13, 2021 at 06:56AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ancaman Investasi Kabur Usai Limbah Batu Bara Tak Lagi B3"
Posting Komentar