Berdasarkan data Badan Koordinasi penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi hanya tumbuh 4,1 persen dari Rp692,8 triliun pada 2017 menjadi Rp721,3 triliun pada 2018. Padahal, pada 2017 pertumbuhan investasi mencapai 13,1 persen.
Rosan menjelaskan dari sisi persaingan, dunia usaha dihadapkan pada penarikan investasi yang cukup ketat dari negara tetangga. Penarikan investasi tak lepas dari pengaruh kondisi perekonomian global yang membuat aliran modal ke negara berkembang lebih seret.
"Sehingga negara-negara tetangga terus mereformasi (kebijakan) guna menarik investasi asing. Walau EoDB (tingkat kemudahan berusaha) Indonesia naik terus, tapi negara lain terus lakukan perbaikan," ucapnya di Menara Kadin, Kamis (31/1).
Sementara dari sisi pemerintah, ia menilai beberapa kebijakan yang dibuat justru tak mendukung penarikan investasi oleh dunia usaha. Kebijakan salah satunya berkaitan dengan perizinan.
Menurutnya, meski pemerintah pusat terus berusaha memangkas perizinan yang saling tumpang tindih dan tak sejalan, namun kemudahan perizinan belum maksimal dilakukan pemerintah daerah (pemda).
"Kalau soal demo, mereka (investor) tidak khawatir. Tapi soal kebijakan, BKPM bilang persyaratannya A, B, C, D, begitu masuk ke daerah ternyata ada tambahan E, F, G. Itu yang dikeluhkan," ujarnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah dinilainya masih suka berubah-ubah, apalagi jelang pergantian kepemimpinan. Padahal, investor ingin ada kepastian kebijakan, baik dari sisi hukum hingga insentif agar usaha yang didirikan di tanah air bisa berkembang sesuai dengan peta bisnis yang sudah disiapkan.
Lebih lanjut Rosan juga mengeluhkan soal tingginya upah tenaga kerja di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah menetapkan kenaikan besaran upah dengan formula laju inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
"Service payment (upah) tenaga kerja Indonesia mungkin salah satu yang tertinggi di dunia," imbuhnya.
Sayang, menurutnya, kenaikan besaran upah per tahun belum sejalan dengan tingkat produktivitas tenaga kerja. Bila dibandingkan dengan sesama negara berkembang lainnya di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), produktivitas tenaga kerja masih tertinggal.
"Produktivitas dibandingkan negara-negara ASEAN itu kurang. Jam kerja tenaga kerja Indonesia dibandingkan Vietnam, lebih sedikit mereka (investor) bilang," katanya.
Selain masalah tersebut, Rosan juga mengeluhkan soal tingginya kewajiban pembayaran pesangon kepada pekerja ketika perusahaan terpaksa 'gulung tikar'. Padahal, menurutnya, perusahaan juga sudah menanggung kerugian besar.
Dari sini, ia menilai pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk mengubah Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Poin yang diatur dalam uu tersebut cukup memberatkan investor dan dunia usaha. Menurutnya, hal ini sudah sempat dikomunikasikan dunia usaha, namun belum ditanggapi oleh pemerintah.
"Pemerintah harus berani ambil kebijakan yang mungkin tidak populis, harus revisi UU Tenaga Kerja, itu harus dilakukan, karena itu salah satu faktor yang mereduksi foreign direct invesment masuk ke dalam negeri," jelasnya.
Di sisi lain, ia juga mengeluh soal minimnya insentif yang mampu menggairahkan investor untuk mengalirkan dana yang dimiliki ke Tanah Air. Ia menyontohkan, pemerintah pernah mengatakan bakal mengkaji pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, namun hingga kini belum ada tindak lanjutnya. (agt/agt)
http://bit.ly/2HJx4eX
February 01, 2019 at 05:32PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nilai Investasi Turun, Kadin Salahkan Kebijakan Pemerintah"
Posting Komentar