Hal ini dikatakan dalam aksi demo menolak Surat Keputusan Nomor 25/MENLHK/SETJEN/PL.2/1/2018 tertanggal 10 Januari 2018 tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari sebagian Cagar Alam Kamojang seluas ±2.391 ha dan Cagar Alam Gunung Papandayan seluas ±1.991 ha menjadi TWA, di depan halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (31/1).
Intinya, peraturan itu menetapkan bahwa Cagar Alam (CA) Kamojang turun status menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Penurunan status itu disebut demi memfasilitasi eksplorasi panas bumi di area hutan itu.
"Kami akan terus melakukan penuntutan untuk dicabutnya SK No.25 KLHK tahun 2018. Salah satunya kami sedang menyusun berkas-berkas yang akan kami bawa ke PTUN yang jika dalam pertemuan atau audiensi dengan KLHK tidak menemukan kesepakatan. Yang kami tuntut cagar alam harga mati," kata Juru bicara Aliansi Cagar Alam Jabar Kidung Saujana.Dalam aksinya, para pegiat lingkungan menggelar spanduk besar bertuliskan soal penolakan terhadap keputusan menteri tentang penurunan status cagar alam Kamojang dan Papandayan.
Kidung mengaku pihaknya dalam waktu dekat juga akan melakukan sejumlah upaya menggagalkan penurunan status cagar alam itu. Misalnya, membuat petisi hingga beraudiensi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Fasilitas Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ((ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso))
|
Berdasarkan dokumen kronologi penerbitan SK itu, Kidung menyebut motivasi perubahan fungsi luasan hutan tersebut adalah untuk melegalkan eksplorasi tambang panas bumi di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan.
Padahal, kata dia, warga lebih membutuhkannya sebagai cagar alam dan kawasan konservasi ketimbang pasokan listrik dan iming-iming pariwisata.
"Masyarakat membutuhkan cagar alam lebih dari pada geotermal atau pariwisata. Jika kita bicara geotermal, kebutuhan listrik Jawa Bali sudah surplus," ungkapnya."Kalau bicara wisata, sangat rendah sekali. Sejauh ini sekitar lima tahun kami sosialisasi tidak punya keterikatan ekonomi warga dengan kawasan cagar alam ini," sambung dia.
Sementara, lanjut Kidung, dalih pengembalian hutan dengan menurunkan status kawasan tidak masuk akal.
Asap dari panas bumi di kawasan Gunung Papandayan, Garut. (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)
|
"Sejak 2012 intervensi manusia cukup masif. Pendakian, pembalakan liar, pemburu, aktivitas motor trail. Artinya, ada unsur kesengajaan agar ekosistem dibilang rusak dan statusnya bisa diturunkan," paparnya.
Dikutip dari situs menlhk.go.id, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno menyebut pihaknya bisa mengubah fungsi hutan lewat kajian tim terpadu.
"Pemerintah dapat melakukan perubahan fungsi kawasan hutan untuk kepentingan optimalisasi fungsi kawasan," ujarnya.Proses kajian evaluasi kesesuaian fungsi itu dilaksanakan pada 2012 dan 2016. Selain itu, ada penelitian oleh Tim Terpadu Perubahan Fungsi yang keanggotaannya terdiri dari LIPI, IPB, Pemprov Jawa Barat, KLHK dan UPT, Oktober-November 2017.
Hasilnya, sebagian kawasan Kamojang dan Papandayan disebut mengalami degradasi sehingga perlu dilakukan pemulihan ekosistem.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
|
"Oleh karena itu diperlukan perubahan fungsi kawasan hutan dalam fungsi pokok hutan konservasi dari CA menjadi TWA. Perubahan fungsi tersebut didukung oleh 100 persen kepala desa, 75 persen pejabat kecamatan dan 87,8 persen masyarakat," aku Wiratno.
(hyg/arh)
http://bit.ly/2ShLgje
February 01, 2019 at 07:07PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Soal Kamojang, Aktivis Akan Gugat SK Menteri LHK ke PTUN"
Posting Komentar