Kehadiran ekonomi digital menimbulkan berbagai polemik. Di satu sisi, ekonomi digital bisa menyediakan ruang baru pada perekonomian dengan bermunculannya berbagai perusahaan rintisan (start-up). Masing-masing start-up berlomba untuk menciptakan suatu media atau aplikasi yang mampu menarik perhatian pengguna dan membuat transaksi ekonomi menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien.
Pesatnya perkembangan ekonomi digital bisa terlihat dari laju pertumbuhan nilai transaksi perdagangan elektronik (e-commerce).
Sulit untuk mengetahui data pasti dari nilai transaksi e-commerce. Namun, sebagai gambaran, berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce pada 2014 baru mencapai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp34,9 triliun.
Sementara, pada laporan e-Conomy SEA 2018 yang disusun Google dan Temasek menyatakan Gross Merchandise Value (GMV) industri e-commerce di Indonesia telah mencapai US$12,2 miliar dan diprediksi akan melonjak hingga US$53 miliar pada 2025.
Investasi di sektor ekonomi digital juga terus meningkat. Bahkan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan penanaman investasi untuk perusahaan rintisan (startup) di sektor e-commerce telah menyelamatkan total investasi di Indonesia dalam dua tahun terakhir.
Kepala BKPM Thomas Lembong mengklaim investasi di e-commerce berkontribusi 15-20 persen dari total Penanaman Modal Asing (PMA) per tahunnya. Rata-rata investasi asing setiap tahun berkisar US$9 miliar-US$12 miliar. Artinya, investasi di ekonomi digital berkisar US$2 miliar per tahun.
Tingginya investasi di sektor ekonomi digital juga tak lepas dari kehadiran berbagai bisnis rintisan (start-up) di Indonesia. Bahkan, dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah memiliki empat perusahaan start-up dengan nilai valuasi lebih dari US$1 miliar atau masuk kategori unicorn. Keempatnya yaitu, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan Gojek.
Keempat perusahaan itu mendapatkan sebagian pendanaannya dari investor asing. Hal itu sempat menjadi perhatian Calon Presiden Prabowo Subianto dalam debat capres kedua pada 17 Februari 2019 lalu. Prabowo khawatir perkembangan startup yang masif berpotensi mempercepat nilai tambah dan dana yang lari ke luar negeri.
Ekonomi digital juga dianggap sebagai momok bagi bisnis konvensional yang selama ini telah menjadi penggerak perekonomian dan menyediakan lapangan kerja.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memperkirakan sebanyak 52,6 juta pekerjaan berpotensi hilang. Namun, 3,2 juta pekerjaan baru akan muncul sebagai dampak dari ekonomi digital.
Hal itu bisa dimaklumi, digitalisasi membuat pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh manusia bisa tergantikan oleh mesin. Seseorang yang ingin berbelanja tidak perlu lagi datang ke toko ritel yang dijaga pramuniaga, tetapi bisa melalui aplikasi dan pembayarannya menggunakan transaksi daring.
Dampaknya, bisnis ritel konvensional terpukul selama beberapa tahun terakhir. Hal itu ditandai dengan tutupnya sejumlah gerai toko ritel mulai dari Ramayana, Matahari, hingga Central NeoSoho. Sebagai gantinya, bisnis logistik dan pergudangan mendapatkan angin segar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengungkapkan pemerintah perlu hadir di tengah euforia pesatnya perkembangan ekonomi digital. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengarahkan agar ekonomi digital bisa berkembang secara inklusif, mendorong produksi dengan melibatkan pelaku usaha hingga ke level Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan demikian, ekonomi digital bisa lebih inklusif.
Ia mencontohkan, pemerintah melakukan pendekatan yang komprehensif untuk mendorong daya saing barang dan jasa dalam negeri saat dipasarkan di dalam marketplace.
"Bahkan, kalau bisa marketplace yang ada juga dijadikan sarana bagi produk dalam negeri untuk bisa menembus pasar ekspor," ujarnya.
Dengan demikian, industri lain yang bisa menyerap tenaga kerja bisa ikut berkembang. Pada akhirnya, ekonomi digital akan memiliki daya dorong yang lebih besar terhadap pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional.
Sektor perbankan juga bisa memanfaatkan momentum perkembangan ekonomi digital. Saat ini, industri perbankan berbenah dengan meningkatkan kualitas layanan digital baik untuk sistem pembayaran maupun kredit.
PT Bank Mandiri Tbk, misalnya, menyatakan bakal menggandeng Tokopedia dan Bukalapak untuk mendorong penyaluran kredit. Caranya, bank akan menyediakan layanan kredit digital melalui kedua platform e-commerce terbesar di Indonesia itu dengan plafon maksimal Rp500 juta.
"Kami sedang kembangkan aplikasi pemrograman bank dengan e-commerce. Kalau sudah jadi, kami akan rapihkan agar e-commerce bisa menjadi sarana untuk memutuskan kredit," ujar Hery dikutip dari Antara, pekan ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara menilai kehadiran ekonomi digital tidak perlu dilawan. Pasalnya, ekonomi digital telah memberikan sejumlah manfaat kepada masyarakat.
"Kehadiran Gojek dan Grab, misalnya, yang bisa menyerap lebih dari 2 juta mitra pengemudi serta jutaan UMKM di bidang kuliner yang dibantu oleh teknologi," ujarnya.
Kendati demikian, Bhima mengingatkan, penguasaan investor asing bisa menjadi penahan kontribusi ekonomi digital di Indonesia. Hal itu mengingat investor bisa mengarahkan agar penggunaan sumber daya manusia maupun pengembangan riset dan teknologi dilakukan di negara asal investor.
"Kami harus menyiapkan juga bagaimana unicorn maupun startup menyerap lebih banyak tenaga kerja di dalam negeri," ujarnya.
Senada dengan Faisal, alih-alih menjadi pasar, marketplace lokal seharusnya diarahkan untuk lebih banyak memasarkan produk lokal. Saat ini, Bhima menyebutkan sekitar 93 persen produk yang dipasarkan di marketplace masih produk impor.
Indonesia, lanjut Bhima, bisa mencontoh India yang mulai menerapkan porsi pembatasan produk impor pada market place yang beroperasi di negaranya.
Pemerintah, menurut Bhima, bisa memberikan insentif kepada marketplace untuk lebih banyak menyerap produk lokal. Caranya, pemerintah bisa memberikan keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) khususnya bagi startup e-commerce yang baru berdiri.
Selain itu, pembangunan infrastruktur digital dan logistik yang mumpuni juga menjadi krusial. Jangan sampai karena buruknya konektivitas, UMKM di daerah tidak bisa masuk ke marketplace.
"Jangan salahkan juga banyak barang-barang impor masuk ke e-commerce karena UMKM di daerah masih kesulitan akses internet, akses logistik," ujarnya.
Tak kalah penting, isu keamanan data pengguna dalam ekonomi digital juga menjadi perhatian Bhima. Saat ini, penyalahgunaan data oleh start-up di Indonesia masih rentan. Investor asing bisa masuk sebagai pemodal startup lokal untuk mendapatkan data konsumen di Indonesia.
Di India, lanjut Bhima, sudah merumuskan regulasi bahwa pusat data dari start-up, khususnya e-commerce, harus berada di dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah bisa mengawasi dan bisa meminimalkan risiko penyalahgunaan data.
"Banyak ruang untuk perbaikan (ekonomi digital di Indonesia). Tidak bisa memandang dari sisi negatif saja karena banyak peluang untuk mendorong ekonomi yang lebih inklusif," pungkasnya. (agi)
https://ift.tt/2H5xw5e
March 01, 2019 at 12:49AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menjawab Kekhawatiran Asing Kuasai Ekonomi Digital RI"
Posting Komentar