Pelonggaran PSBB, Antara Kurva Corona dan Beban Berat Ekonomi

Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah RI mulai memetakan skenario pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah berlangsung hampir tiga bulan sejak pandemi virus corona (Covid-19) terdeteks terdeteksi di Indonesia.

Demikian diutarakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat membuka rapat terbatas Percepatan Penanganan Pandemi Covid-19 di Istana Negara, Senin (18/5).

Selain itu, pada Jumat lalu, dari Istana Merdeka, Jakarta, Jokowi juga telah melayangkan pernyataan Indonesia akan memasuki fase tatanan kehidupan baru (The New Normal) akibat pandemi virus corona yang sudah berbulan-bulan tak jua selesai.


Dalam ratas kemarin disebutkan pengurangan pembatasan sosial hingga perizinan operasi di beberapa sektor mulai dikaji, dengan dalih pengawasan bukan dilonggarkan tapi makin diperketat.

Pekerja usia di bawah 45 tahun mulai diminta kembali ke kantor di tengah wabah. Pasalnya, pemerintah menilai mereka memiliki potensi kematian dan gejala yang lebih ringan ketimbang usia tua.

Namun, menurut ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif pelonggaran ini belum sepatutnya dilakukan. Ia mengatakan demikian karena Indonesia belum memenuhi syarat mutlak pelonggaran PSBB, yakni tes corona masif.

"Laporan harian itu hanya menggambarkan kemampuan kita memeriksa spesimen. Tidak menggambarkan situasi sesungguhnya dari transmisi virus yang ada di masyarakat," ujarnya saat dihubungi CNNIndonesia.com kemarin.

Syahrizal mengatakan demikian berkaca pada laporan jumlah kasus tiap hari yang disampaikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 saban sore. Menurut Syahrizal, jumlah kasus baru yang didapat pemerintah membuktikan Indonesia belum mampu melakukan tes masif.

Jika pemerintah menargetkan pemeriksaan 10 ribu per hari, lanjutnya, ia mengatakan seharusnya jumlah kasus baru bisa mencapai 1.300 sampai 1.400 kasus per hari. Namun hingga kini kasus hanya hitungan ratusan per hari. Artinya pemerintah belum bisa memetakan situasi wabah di lapangan jika kemampuan pemeriksaan masih terbatas.

Soal kemampuan kapasitas tes sendiri, target 10 ribu itu merupakan permintaan Jokowi pada 13 April lalu dalam Rapat Terbatas Kabinet. Namun, di lapangan, kesulitan terjadi salah satunya kuantitas laboratorium serta kapasitas tesnya.

Bahkan, pada 3 Mei lalu diakui Jubir Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto sebagian laboratorium menghentikan sementara pengujian karena kehabisan reagen.

Reagen adalah cairan yang digunakan untuk mengetahui reaksi kimia dalam mendeteksi infeksi Covid-19 dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).

Petugas medis mengambil sampel darah rapid test atau pemeriksaan cepat COVID-19 kepada jurnalis di Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (07/4/2020). Pihak Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara bekerja sama dengan Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) Kendari melakukan pemeriksaan rapid test kepada para jurnalis di Kendari sebab berpotensi terpapar virus COVID-19 saat melakukan peliputan. ANTARA FOTO/Jojon/foc.Petugas medis mengambil sampel untuk pemeriksaan risiko terinfeksi virus corona (Covid-19), Kendari, Sulawesi Tenggara, 7 April 2020. (ANTARA FOTO/Jojon)
Atas persoalan tersebut, saat membuka ratas 11 Mei, Jokowi meminta persoalan-persoalan tersebut segera diatasi.

Sejumlah epidemiolog yang CNNIndonesia.com hubungi pada pekan lalu sepakat kurva epidemi Covid-19 di Indonesia sejauh ini belum sesuai standar ilmu epidemiologi. Padahal kurva yang sesuai standar itu kan menunjukkan kondisi sebetulnya dari tren infeksi Covid-19.

Oleh karena itu, Syahrizal menduga keinginan melonggarkan PSBB ini sebetulnya mengikuti tren negara --yang bisa dikatakan berhasil meredam corona-- seperti Taiwan, Jepang, dan Swedia.

Syahrizal mengingatkan tiga negara tersebut sudah berhasil meminimalisasi transmisi lokal di wilayah mereka. Sedangkan, hal tersebut belum bisa dibuktikan berhasil di Indonesia.

Pengamat kebijakan publik dari Rumah Reformasi Kebijakan, Riant Nugroho menduga alasan pemerintah buru-buru membuka kembali aktivitas sosial karena beban ekonomi yang ditanggung.

Menurutnya, beban ekonomi yang ditanggung pemerintah selama PSBB begitu berat. Apalagi, undang-undang menuntut pemerintah menanggung kebutuhan masyarakat selama PSBB.

"Yang membuat kebijakan itulah yang menurut saya keliru. Karena menyandera pemerintah sendiri," ujarnya melalui sambungan telepon.

Riant berpendapat kebijakan soal PSBB pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak sesuai dengan kondisi pandemi yang begitu masif, pun kemampuan ekonomi pemerintah.

Dampaknya pemerintah tak bisa menetapkan PSBB berkepanjangan. Pasalya, beban ekonomi yang dipikul terlalu berat, ditambah lagi ketersendatan aktivitas masyarakat.

Untuk itu ia menilai seharusnya pemerintah membuat aturan untuk menangani kondisi pandemi yang menyesuaikan kondisi saat ini. Sehingga implementasinya bisa efektif.

Kemudian, lanjutnya, peran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga perlu diperbaiki. Menurutnya peran Gugus Tugas dan kementerian atau lembaga masih tumpang tindih dalam penanganan corona.

"Gugas tidak punya kewenangan cukup. Harusnya yang bicara setiap saat kepala gugas. Yang umumkan kepala gugas, jadi menteri tidak boleh ngomong. Supaya [keputusan pemerintah] satu," ujar Riant.

Dia menilai pembagian kewenangan yang ada di banyak pihak, membuat pengambilan kebijakan pemerintah kerap tak sinkron. Menurutnya, itu pula yang akhirnya menjadi salah satu faktor ketidaksipilinan masyarakat.

Petugas menertibkan warga yang tidak menggunakan masker saat melintas di jalan Yos Sudarso, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (10/5/2020). Penertiban tersebut terkait penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indramayu untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww.Petugas menertibkan warga yang tidak bermasker di masa pelaksanaan PSBB saat melintas di jalan Yos Sudarso, Indramayu, 10 Mei 2020. (ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)

Secara terpisah mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada era Presiden Soeharto dan BJ Habibie, Tanri Abeng mengaminkan hal tersebut.

Ia menilai manajemen dalam pembentukan Gugus Tugas keliru sehingga menimbulkan sejumlah kendala dalam penanganan corona.

"Saya usulkan [gugus tugas] seperti di Jerman dan Amerika Serikat. Yang masuk ke tim ini bukan posisi menteri, menko. Justru adalah orang-orang yang ahli yang perlu masuk," ujarnya melalui konferensi video.

Menurutnya jabatan birokrasi tidak sesuai untuk menangani situasi krisis, karena dalam penanganannya butuh ketepatan koordinasi dan waktu yang cepat.

Tanri pun menekankan yang dibutuhkan dalam menangani pandemi justru kepemimpinan yang kuat dan ahli di bidang penanganan wabah.

Ia berpendapat Kepala Gugus Tugas Doni Monardo seharusnya memiliki wewenang yang lebih besar. Artinya setiap kebijakan yang dikeluarkan tiap sektor harus melewati jenderal bintang tiga TNI itu sebagai pemegang kendali.

Menurut Tanri, hal tersebut tak terjadi selama penanganan corona di Indonesia. Pemegang kewenangan mutlak penanganan corona, katanya, justru tak jelas di tangan siapa. Alhasil, kebijakan pemerintah di tiap sektor seolah tumpang tindih.

Di dunia, bukan Indonesia saja yang mempersiapkan kondisi the new normal akibat pandemi virus corona yang berawal dari China pada Desember tahun lalu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun telah memberikan pedoman bagi negara-negara soal penerapan the new normal.

Inti dari pedoman transisi tersebut yakni pemerintah suatu negara harus membuktikan transmisi Covid-19 telah dikendalikan. Kemudian, kapasitas sistem kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit memadai untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengarantina pasien. Selanjutnya risiko penularan wabah telah diminimalkan, terutama pada lokasi dan kondisi masyarakat dengan kerentanan tinggi.

Jika sebuah negara tidak bisa memastikan pedoman transisi tersebut terpenuhi, harus berpikir kembali sebelum memutuskan melonggarkan pembatasan dan memasuki kondisi the new normal. WHO sendiri menentang strategi kekebalan kelompok (herd immunity) yang diterapkan sejumlah negara untuk mengatasi pandemi virus corona. Cara itu dinilai berisiko diterapkan sepanjang belum ada vaksin untuk corona.

CNNIndonesia.com pun bertanya kepada sejumlah warga mengenai rencana Jokowi memulai fase The New Normal, yang dimulai dengan melonggarkan PSBB.

Bunga, warga Jakarta Selatan, mengaku bingung dengan frasa 'The New Normal' yang dalam sepekan terakhir ramai dibicarakan terkait pandemi Covid-19. Tapi, ia mengaku mau tak mau setiap orang harus berjuang sendiri juga agar tak tertular atau menularkan corona.

"Sebenarnya gua tuh bingung dengan new normal, ini orang-orang pada keblinger dengan new normal. Dan, frasa itu jadi kayak hype aja gitu," tutur ibu satu anak yang berprofesi sebagai karyawan swasta itu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Minggu (17/5).

Sementara itu, Hikmah Yanti, seorang ibu rumah tangga di Tambun Selatan, Bekasi menilai Indonesia sendiri belum siap dengan kondisi normal jika dilihat dari sudut pandang kesehatan atas pandemi corona. Namun, kata dia, tak bisa dipungkiri perputaran roda ekonomi menuntut kehidupan warga kembali beraktivitas normal.

"Saya rasa pemerintah menormalkan kembali keadaan lebih ke faktor ekonomi. Secara kesehatan sendiri, saya rasa Indonesia belum pulih benar. Tapinya sudah mau gimana lagi, kalau memang sudah ada perintah masuk sekolah lagi ya Bismillah saja. Semoga semua lekas membaik," ujar ibu dua anak tersebut.

Dia pun berharap pemerintah bisa menjamin warga ketika pelonggaran PSBB dan fase The New Normal berlangsung. Alhasil, para orang tua bisa beraktivitas dan melepas anaknya ke sekolah tanpa rasa was-was dan cemas terkait Covid-19. (fey/kid)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2WKRABo

May 19, 2020 at 07:20AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pelonggaran PSBB, Antara Kurva Corona dan Beban Berat Ekonomi"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.