Jalan Masih Panjang dan Berliku untuk Jadi Negara Maju

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2018 mencapai US$3.927, naik 1,3 persen dari tahun sebelumnya US$3.876,3. Dalam nominal rupiah kenaikannya lebih tinggi, yakni mencapai 7,89 persen dari Rp51,9 juta menjadi Rp56 juta.

Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata penduduk satu negara dalam satu periode tertentu, biasanya dalam satu tahun. BPS menghitung pendapatan per kapita dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dibagi dengan jumlah penduduk seluruh Indonesia.

Kenaikan pendapatan per kapita pun menjadi kabar gembira. Pasalnya, angka ini biasanya digunakan untuk mengukur tolak ukur kesejahteraan suatu negara.

Bank Dunia juga membagi negara-negara di dunia dalam empat kelompok pendapatan per kapita.

Kategori Negara Bank Dunia. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Berdasarkan kategori bank dunia, Indonesia pada 2017 masuk ke dalam kelompok negara menengah atas. Lantas apakah Indonesia berhasil naik ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas?

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menjelaskan angka pendapatan per kapita yang digunakan BPS dan Bank Dunia dalam mengkategorikan negara berbeda. Jika BPS menggunakan angka PDB, Bank Dunia menggunakan angka Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Income (GNI) per kapita.

Adapun PDB merupakan seluruh pendapatan masyarakat, perusahaan dan pemerintah selama periode tertentu di Indonesia, termasuk di dalamnya pendapatan warga asing. Sementara PNB tak menghitung pendapatan warga negara asing di Indonesia, tetapi memasukkan pendapatan warga negara Indonesia yang bekerja di Indonesia.

Saat ini, menurut dia, pendapatan warga asing yang berkiprah di Indonesia masih jauh lebih tinggi dari wagra negara Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Untuk itu, menurut dia, PDB Indonesia sudah tentu lebih besar dari PNB.

"Jadi, kita harus bersabar untuk naik kelas (kelompok menengah ke atas). GNI per kapita Indonesia belum US$3.896," jelas Faisal dikutip dari situs pribadinya, Jumat (8/2).


Senada, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro juga menjelaskan data pendapatan per kapita yang digunakan bank dunia berbeda dengan data yang dirilis BPS. Kendati demikian, Bambang tak menyebut berapa besaran PNB per kapita Indonesia tahun lalu yang digunakan Bank Dunia sebagai dasar perhitungan pengkategorian negara.

"Untuk kepastian status upper middle income (kelas menengah atas) lebih baik menunggu data dari bank dunia yang berbasis GNI per capita, bukan GDP per capita," jelas dia.

Kendati demikian, menurut Bambang, kenaikan pendapatan per kapita pada tahun lalu memperlihatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dengan angka kelas menengah yang semakin besar, serta kemiskinan dan ketimpangan yang menurun.

Bambang sebelumnya memperkirakan Indonesia baru bisa naik kelas sebagai negara berpendapatan menengah atas pada 2020 mendatang. Sementara untuk menjadi negara maju atau berpendapatan tinggi, menurut perhitungan Bambang, membutuhkan waktu paling cepat sekitar 19 tahun lagi.

"Yang penting keluar dulu dari lower middle income trap, sedangkan keluar dari midle income trap menjadi high income paling cepat 2038. Itu dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,1 persen," jelas dia.

Pendapatan per kapita RI. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5 persen. Sementara pada tahun lalu, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17 persen.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai Indonesia masih jauh panggang dari api untuk menjadi negara maju meski pendapatan per kapitanya perlahan meningkat.

"Masih jauh sekali untuk lepas dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap) sendiri," imbuhnya.

Menurut dia, guna menjadi negara berpendapatan tinggi sesuai target pemerintah, pertumbuhan per kapita Indonesia setidaknya harus mencapai 5-6 persen. Jika dikonversi dalam angka pertumbuhan ekonomi, Fithra mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia harus berada di level 6-7 persen.

Sementara rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia masih berada di rentang 3,7-3,9 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi masih berada di kisaran 5 persen.

"Jadi ada selisih satu persen antara pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi,," paparnya.

Fithra menilai pemerintah perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi guna memastikan bonus demografi yang bakal dimulai tahun depan, tak berakhir sebagai bencana. Dalam periode ini, penduduk dengan usia produktif usia 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tua.


Bappenas sebelumnya memprediksi puncak bonus demografi akan terjadi tahun depan dan berlangsung hingga 2045. Tahun 2030, angkatan usia produktif diperkirakan mencapai 200 juta orang. Jumlah tersebut mewakili 68 persen dari total populasi Indonesia. Sedangkan, angkatan tua usia 65 tahun ke atas hanya sekitar 9 persen.

Dengan pertimbangan tersebut, Indonesia sebenarnya tidak memiliki banyak waktu dalam memanfaatkan bonus demografi. Fithra mencontohkan Jepang dan China yang berhasil memanfaatkan bonus demografinya untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga ke posisi 9-14 persen.

"Indonesia yang sudah masuk dalam periode bonus demografi seharusnya mampu tumbuh di atas 5 persen," ucapnya.

Untuk itu, Fithra mengungkapkan ada tiga hal yang harus dibenahi agar Indonesia bisa naik kelas menjadi negara pendapatan tinggi.

Pertama, meningkatkan inovasi dengan gencar membangun pusat riset dan pengembangan. Menurutnya, proporsi anggaran riset dan pengembangan Indonesia masih rendah yaitu sekitar 0,2-05 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Proporsi tersebut merupakan salah satu yang terburuk di Asia Tenggara bahkan dunia. Padahal lewat riset, kata Fithra, Indonesia bisa mengembangkan potensi bangsa dari berbagai aspek.


Kedua, pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA). Ia mengungkapkan dalam beberapa tahun terakhir investor masih wait and see (melihat dan memperhatikan) investasinya di Indonesia lantaran mempertimbangkan faktor fundamental ekonomi terutama dari sisi defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Sebagai catatan, sepanjang tahun lalu investasi asing anjlok 8,8 persen dari Rp430,5 triliun menjadi Rp392,7 triliun.

Ketiga, diperlukan peningkatan produktifitas tenaga kerja kita. Pemerintah masih memiliki tanggung jawab besar untuk menumbuhkan ketrampilan tenaga kerja Indonesia, apalagi 70 persen tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh level SMA ke bawah.

Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai banyak yang perlu dibenahi pemerintah untuk menjadi negara maju. Pembenahan perlu dilakukan pada infrastruktur, kepastian hukum, iklim bisnis, dan iklim investasi.

"Kita juga harus meningkatkan inovasi dan SDM karena tidak ada negara yang berhasil lolos dari middle income trap tanpa inovasi dan SDM yang baik," tuturnya.

Hal tersebut menurut dia, perlu dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia pun meyakini jika Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen setiap tahun, maka Indonesia bisa menjadi negara maju pada tahun 2040.

"Namun perlu diwaspadai, middle income trap membuat banyak negara tumbuh tidak terlalu cepat, atau lebih lambat dari sebelumnya," pungkasnya. (agi)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2MVhzPT

February 09, 2019 at 12:42AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jalan Masih Panjang dan Berliku untuk Jadi Negara Maju"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.