Ia menduga ada kekhawatiran dari para panglima terdahulu bahwa TNI akan dianggap cacat jika masalah tersebut diketahui publik.
"Sebenarnya masalah kelebihan ini sudah terjadi mulai tahun 2010-2011 cuma tidak dilakukan langkah-langkah. Mungkin ini barangkali yang dulu-dulu menganggap ini hal tabu untuk diketahui publik," ujar Sisriadi di Balai Wartawan TNI, Jakarta, Rabu (6/2).
Sisriadi mengaku saat masih bertugas di Angkatan Darat sudah meramalkan akan terjadi kelebihan perwira di tubuh TNI.
Sebab utama, kata dia, sebagaimana kajian Mabes TNI, karena penambahan usia pensiun perwira TNI dari semula 55 menjadi 58 tahun. Perubahan itu, lanjut dia, tanpa diikuti perubahan ketentuan kenaikan pangkat perwira.
Sisriadi membeberkan semua masa tugas perwira ketika lulus dari pendidikan rata-rata setelah 30 tahun berdinas. Namun, dengan adanya perpanjangan itu, rata-rata menjadi 35 tahun. Akibat hal itu, masa dinas perwira yang terakhir menjadi lebih panjang.
"Dengan penambahan usia (pensiun) harusnya itu ditata ulang. Karena apa, konsep kenaikan pangkat dan jabatan di lingkungan TNI itu kalau boleh saya gambarkan seperti jalannya gelombang longitudinal. Yang dari belakang dorong ke depan, depan ke depannya lagi, sampai paling depan sendiri," ujarnya.
Lebih lanjut, Sisriadi menyampaikan kenaikan pangkat perwira TNI juga tidak bisa asal dilakukan. Ia berkata TNI memiliki ruang jabatan, misalnya dalam struktur untuk kepangkatan Letnan atau Kapten, dengan masa dinas yang telah ditentukan.
"Tapi dengan diubahnya usia pensiun ada pergeseran di ujung. Makanya yang lebih banyak perwira tinggi dan Kolonel saja. Tapi kalau kita lihat struktur seluruhnya masih kurang semua. Kayak Letan Kolonel itu masih kurang banget," ujar Sisriadi.
Di sisi lain, ia menyebut pemerintah pernah menghentikan pertumbuhan personel TNI pada 2012. Saat itu, kekuatan TNI masih 80 persen dari indeks personel yang seharusnya. Akibat hal itu, menyebabkan jumlah jabatan mulai dari tingkat Letnan Dua hingga Letnan Kolonel berkurang banyak.
"Cuma di Kolonel dan di Pati berlebih karena jumlah jabatan sedikit, waktu (dinasnya) diperpanjang. Jadi yang tadinya delapan tahun saja sekarang sebelas tahun untuk menjadi Pati. Jadi semua orang mengalir di situ padahal ruangannya cuma sedikit. Tapi orangnya terpaksa harus dinaikkan kalau dia sudah memenuhi syarat misalnya sudah Lemhanas, Sesko TNI maka dinaikkan pangkatnya ke Pati," ujarnya.
Lebih dari itu, ia mengungkapkan sejumlah Kolonel dan Pati TNI terpaksa menganggur jika bertugas di angkatan. Sementara yang di lingkungan kementerian, perwira tersebut masih bisa dirotasi. Hal itu harus dilakukan untuk mengakomodasi personel yang baru naik pangkat ke Kolonel atau Pati.
"Jadi kalau tidak ada jabatan nunggu," ujarnya.
Seperti diketahui, polemik surplus perwira bermula saat Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan pihaknya berencana merevisi UU TNI agar para perwira menengah dan perwira tinggi bisa berdinas di kementerian/lembaga negara.
![]() |
Ia menyatakan nantinya para pati dan pamen TNI aktif itu bisa menduduki posisi setingkat eselon I dan eselon II di tiap-tiap kementerian terkait.
"Khususnya pasal 47 [UU TNI], kita menginginkan bahwa lembaga/kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu Eselon 1 eselon 2. Tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya sehingga kolonel bisa masuk di sana," kata Hadi di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Kamis (31/1).
[Gambas:Video CNN] (jps/ain)
http://bit.ly/2GdT3sy
February 06, 2019 at 09:39PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Puspen Ungkap Akar Persoalan Kelebihan Perwira di Tubuh TNI"
Posting Komentar