Seruan 'Tak Bijak' Boikot Pajak Bisa Lumpuhkan Negara

Jakarta, CNN Indonesia -- Seruan untuk tidak membayar pajak dilontarkan dengan ringan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra AriefPoyuono kepada pendukung calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Ajakan boikot pajak digulirkan sebagai bentuk penolakan terhadap penetapan hasil resmi Pemilihan Umum (Pemilu) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul.

Tak pelak, ajakan boikot pajak itu menuai pro dan kontra dari banyak pihak karena akan menimbulkan banyak efek. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan angkat bicara. Hal yang menarik, Bendahara Negara itu pun mengangkat fakta bahwa alokasi dana untuk partai politik berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sumbernya dari pajak.

"Partai politik pun juga mendapat APBN jangan lupa, karena mereka mendapatkan per kepala. Jadi kalau tidak mau membayar pajak, masa mau negaranya tidak jalan," katanya.


Seruan boikot pajak oleh Arief perlu disikapi dengan kepala dingin dan logika berpikir yang jernih. Masyarakat dinilai perlu memiliki pemahaman komprehensif terkait peran pajak terhadap negara, sehingga bisa menilai dampak negatif dari seruan boikot Arief tersebut.

Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam menjelaskan kewajiban membayar pajak diatur dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam beleid itu disebutkan, jika setiap pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

"Jadi, siapa yang harus bayar pajak, objek pajaknya apa, dan berapa jumlahnya, merupakan suatu kewajiban yang sudah disepakati antara pemerintah dan rakyat melalui undang-undang," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Artinya, seruan boikot membayar pajak sama halnya dengan seruan untuk melanggar ketentuan konstitusi negara Indonesia.

Tak hanya kewajiban belaka, ia bilang pajak memiliki peran penting bagi negara untuk melaksanakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pasalnya, pajak yang dibayarkan masyarakat digunakan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Selanjutnya, anggaran tersebut dibelanjakan untuk keperluan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, keamanan, dan lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat sendiri. Sederhananya, dari masyarakat untuk kepentingan masyarakat.

Tahun 2018, realisasi pendapatan negara mencapai Rp1.942,34 triliun. Dari jumlah tersebut sebesar Rp1.315,91 triliun atau setara 67,74 persen berasal dari penerimaan pajak. Tahun ini, pemerintah mematok penerimaan perpajakan mencapai Rp1.786,4 triiun atau 82,50 persen dari pendapatan negara sebesar Rp2.165,1 triliun.

"Jelas pengaruhnya terhadap APBN akan turun secara signifikan karena kontribusi pajak sebesar kurang lebih 70 persen dari APBN. Pajak merupakan urat nadi suatu negara maka tanpa pajak negara akan roboh," katanya.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo menyampaikan hal senada. Ia menilai boikot pajak bisa melumpuhkan fungsi pemerintah sehingga tidak bisa menyelenggarakan fungsi pemerintahan. Jika pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya, maka ekonomi negara dipastikan ikut terimbas.

"Untuk memastikan ekonomi jalan perlu pemerintah yang membuat kebijakan melakukan pengawasan dan kalau ini tidak jalan, lumpuh artinya fungsi pemerintah tidak jalan dan membuat ekonomi memburuk," ujarnya.


Tidak hanya menopang fungsi pemerintah, pajak juga menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi lainnya seperti transportasi, logistik, infrastruktur, dan lainnya. Jika pembayaran pajak berkurang bahkan terhenti, maka dipastikan kegiatan-kegiatan ekonomi itu tidak bisa dijalankan.

"Konsekuensi terjauh akan terjadi chaos (kekacauan) di negara ini," ujarnya.

Dari perspektif kepatuhan pajak, lanjutnya, ajakan ini dikhawatirkan memperburuk kondisi kepatuhan pajak di Indonesia. Pasalnya, saat ini rasio pajak (tax ratio) Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih terbilang rendah. Tahun ini, rasio pajak ditargetkan menyentuh angka 12,2 persen dari PDB. Lalu, pada 2020 ditargetkan berada di kisaran 11,8 persen-12,3 persen dari PDB.

Selain itu, tingkat penghindaran pajak alias pengemplang pajak juga masih tinggi. Menurutnya, dalam situasi seperti ini, ajakan memboikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku mengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang pajak yang selama ini memang enggan membayar pajak.

[Gambas:Video CNN]

"Artinya, ajakan memboikot bayar pajak ini tak lain kolaborasi hitam yang melebihi ajakan makar karena mengeroposkan fondasi negara dan menghancurkan modal sosial yang penting untuk keberlanjutan pembangunan," katanya.

Dalam penilaiannya, tindakan politikus Gerindra itu bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana lantaran mengajak masyarakat untuk melanggar hukum konstitusi.

"Konsekuensinya ini berat tidak boleh main-main. Sikap seperti ini mungkin tadinya untuk gimmick, tetapi jangan sampai menginspirasi orang yang tidak punya pemikiran seperti itu menjadi memiliki pemikiran seperti itu," katanya.

(ulf/lav)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2JK3ghy

May 18, 2019 at 12:20AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Seruan 'Tak Bijak' Boikot Pajak Bisa Lumpuhkan Negara"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.