Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.
"Pemerintah ini mentalnya mental penjajah. Ingin mengontrol masyarakat sama halnya ketika kompeni Belanda ingin mengontrol masyarakat kolonial. Pasal-pasal yang sebelumnya sudah dihapuskan, pasal penghinaan presiden sudah dihapuskan tahun 2006, korbannya sudah banyak, dicantumkan kembali," ucap Pengacara Publik LBH Jakarta Nelson Sinamora di LBH Jakarta, Senin (26/8).
MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, memang pernah membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP. MK menilai tiga pasal penghinaan presiden dan wakil presiden itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan manipulasi.
Keputusan itu merupakan hasil dari permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.Selain pasal penghinaan presiden, Aliansi juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196, dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 dan akhir-akhir ini, Aliansi berujar pasal itu hanya akan jadi bentuk antidemokrasi pemerintah.
"Seharusnya definisi makar adanya serangan, bisa memakai senjata tajam atau pistol sejenisnya. Ini menjadi pasal karet yang orang ngomong dikit-dikit saja dibilang makar, mengkritik pemerintah dibilang makar," ujar dia.
Aliansi juga mengkritik pemidanaan terhadap penodaan agama dalam RKUHP. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan negara tidak berhak mengatur keyakinan yang jadi wilayah privasi warga negara.
"Penodaan agama masih jadi hal relevan dibahas karena negara kemudian mengambil alih peran Tuhan di isu mana yang benar, mana yang salah. Padahal negara seharusnya melindungi semua keyakinan warga negara," kata Erasmus.Aturan soal penodaan agama tercantum dalam Pasal 313 RKUHP. Di sana diatur setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penistaan terhadap agama diancam penjara maksimal lima tahun.
Aliansi menolak aturan itu karena dinilai multitafsir dan subjektif. Pasal ini disebut akan mendiskriminasi minoritas di Indonesia sebagaimana kasus-kasus yang telah berjalan.
Pasal penodaan agama juga disebut pasal karet sebab tidak ada standar baku untuk menilai suatu perbuatan menista agama atau tidak.
"Bagaimana bisa mengklaim ajaran yang satu bisa menghina ajaran lain? Lebih pelik lagi kalau di dalam satu agama. Kita tahu di agama manapun tidak pernah ada satu tunggal penafsiran agama. Ketika masing-masing tafsir saling melaporkan, siapa yang harus didengarkan negara?" kata Direktur YLBHI Asfinawati.RKUHP ditargetkan selesai pada masa sidang yang lalu pada 14 Februari. Namun pembahasan RKUHP masih menyisakan kontroversi dan perdebatan.
Kemudian Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan pihaknya saat ini sudah memperpanjang masa tugas panitia kerja (Panja) RKUHP untuk menyelesaikan pembahasan.
"Mudah-mudahan bisa masa sidang ini kami tuntaskan dan kami sahkan sebelum tutup masa sidang," ucap Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/3).
(dhf/wis)
https://ift.tt/2zpyDrs
August 27, 2019 at 02:37PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "RKUHP Larang Hina Presiden, Pemerintah Dicap Mental Penjajah"
Posting Komentar