Upaya pemerintah menyelamatkan ekonomi di tengah pandemi corona dinilai salah kaprah. Alih-alih mendorong permintaan, pemerintah justru menggenjot penawaran (supply) dalam menyusun anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Padahal, Ekonom Senior Indef Aviliani bilang ekonomi RI masih sangat bergantung dari permintaan. Lihatlah, konsumsi masyarakat berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) RI. Sedangkan, indikator lain hanya menyumbang tak lebih dari 40 persen.
Makanya, seharusnya, anggaran penanganan pemulihan ekonomi konsentrasi untuk mendorong konsumsi masyarakat. Ndilalah, pemerintah cuma mengalokasikan Rp200 triliun dari pagu anggaran Rp695,2 triliun demi membangkitkan daya beli masyarakat.
Sementara sisa anggaran mengalir untuk mendorong penawaran, seperti subsidi bunga kredit, restrukturisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), padat karya, subsidi penjaminan kredit, insentif perpajakan, hingga dukungan ke sektor pariwisata dan BUMN.
Bandingkan dengan sisi permintaan yang hanya ditopang lewat program bansos, seperti diskon listrik, bansos tunai (BLT), kartu prakerja, BLT pekerja bergaji di bawah Rp5 juta, dan dua program lainnya keluarga harapan (PKH) dan kartu sembako.
"Pemerintah salah dalam menjaga ekonomi. Dana untuk (mendorong) penawaran sampai Rp400 triliun, padahal yang dibutuhkan di sisi permintaan. Kan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung dari konsumsi masyarakat," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/9).
Wajar, Aviliani menilai pemerintah salah langkah menyelamatkan ekonomi. Tengok lah, upaya pemerintah mendorong UMKM mengajukan kredit di tengah permintaan yang masih minim.
"Bank diberikan dana oleh pemerintah untuk menyalurkan kredit, untuk apa? Belum ada kebutuhan bagi UMKM. Penjaminan kredit juga untuk apa? Belum banyak yang meminjam dana?" tutur dia.
Justru, penempatan dana pemerintah di bank BUMN (Himbara) yang sebesar Rp30 triliun berpotensi membuat bank-bank pelat merah kanibal. Artinya, bank akan mengambil nasabah dari bank lain dengan menawarkan bunga rendah atau menambah kredit nasabah existing.
Dengan kata lain, nasabah yang mendapatkan kucuran kredit sebetulnya tidak bertambah, melainkan nasabah yang itu-itu saja. "Percuma, sekarang belum ada permintaan kredit. Kalau diberikan cuma kanibal. Tidak berdampak pada ekonomi dong," jelasnya.
Padahal, bisa saja dana yang dialokasikan untuk mendorong penawaran dialihkan ke permintaan. Misalnya, dengan menambah bansos. Toh, masyarakatnya masih butuh. "Kalau konsumsi sudah bagus, baru beraih ke sisi penawaran," terang Aviliani.
Ia memperkirakan permintaan atau konsumsi masyarakat membutuhkan dukungan pemerintah hingga semester I 2021 mendatang. Artinya, daya beli masih melemah sampai Juni tahun depan. "Awal tahun depan, permintaan belum langsung naik," papar Aviliani.
Karenanya, bila kebijakan pemulihan ekonomi tidak dirombak, ratusan triliun yang digelontorkan pemerintah akan sia-sia. Apalagi, jika ekonomi sudah terlanjur terpuruk, maka kebangkitannya akan lebih sulit lagi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Capaian ini menjadi yang terburuk sejak kuartal I 1999 silam yang minus 6,13 persen.
Bila ekonomi domestik kuartal III 2020 masih minus, maka Indonesia resmi masuk ke jurang resesi. Diketahui, suatu negara disebut resesi bila ekonominya minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal tak sependapat dengan Aviliani. Ia berpendapat penyelamatan ekonomi tidak melulu harus fokus pada sisi permintaan. Pemerintah bisa saja memulainya dengan sisi penawaran.
Menurut dia, permintaan masyarakat bisa tumbuh berkat dorongan penawaran. Jadi, permintaan dan penawaran sebenarnya saling beririsan. "Penawaran ini bisa menumbuhkan permintaan. Misalnya pemerintah memberikan insentif ke pemberi kerja, ini sisi penawaran, tapi juga berpengaruh ke sisi permintaan," ungkap Fithra.
Ia menjelaskan jika pemerintah diam saja dengan tidak memberikan bantuan kepada sejumlah perusahaan yang kesulitan akibat pandemi, maka dunia usaha akan mati. Dampaknya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi atau minimal gaji karyawan akan dipotong.
Karyawan yang terkena PHK dan pemotongan gaji otomatis akan berhemat agar bisa bertahan hidup hingga situasi kembali normal. Walhasil, konsumsi masyarakat bakal berkurang.
"Selain fokus ke orang miskin, pemerintah juga harus bantu pemberi kerja. Kalau perusahaan terlilit utang, hanya bisa bayar bunga dan belum bisa sepenuhnya beroperasi, maka sisi permintaan juga terganggu," terang dia.
Lagipula, konsumsi masyarakat yang paling berpengaruh pada perekonomian domestik adalah konsumsi masyarakat kelas menengah atas yang sebesar 20 persen dari total populasi penduduk di Indonesia. Porsi 20 persen masyarakat kebanyakan adalah pengusaha.
"20 persen ini bergesekan dengan industri. Untuk dapat membangkitkan ekonomi memang perlu sisi permintaan, tapi 50 persen sektor konsumsi didominasi oleh 20 persen masyarakat menengah atas," jelas Fithra.
Artinya, bila pengusaha tidak dibantu, maka permintaan dari kelas menengah atas akan loyo. Ujung-ujungnya, ekonomi juga sulit untuk berbalik arah menjadi positif.
Dengan kebijakan saat ini, Fithra menilai rancangan program yang disusun sudah tepat. Ia juga berpendapat tak ada yang salah jika pemerintah mendorong penyaluran kredit ke sektor riil atau UMKM.
"UMKM akan menciptakan ekonomi dari sisi penawaran. Tidak masalah, karena kalau hanya genjot sisi permintaan tapi tidak ada kecukupan dari sisi produksi, maka akan ada inflasi berlebihan, jadi harus didukung dari sisi barang," imbuh Fithra.
Yang salah dari pemerintah, sambung Fithra, adalah proses pencairan stimulus dari program pemulihan ekonomi nasional. Dia menilai prosesnya saat ini masih berbelit-belit.
"Sebaik-baiknya stimulus yang penting adalah dicairkan. Kalau diukur-ukur terus, dipikir-pikir, digeser-geser, maka realisasinya semakin lama. Jadi sekarang seharusnya tidak perlu didiskusikan lagi, segera eksekusi," ungkap Fithra.
Begitu pula untuk tahun depan. Menurut dia, pemerintah perlu merancang lagi skema penyalurannya agar penyerapan dana tak lambat seperti tahun ini.
Lihat saja, realisasi dana penanganan pandemi corona baru Rp192,53 triliun per 26 Agustus 2020. Artinya, dana yang digunakan baru 27,7 persen dari pagu yang mencapai Rp695,2 triliun.
Rinciannya, dana yang terserap di sektor kesehatan baru Rp12,3 triliun, perlindungan sosial Rp101,06 triliun, sektoral k/l dan pemda Rp14,91 triliun, insentif usaha Rp17,23 triliun, dukungan UMKM Rp17,03 triliun, dan dana yang dialokasikan untuk pembiayaan korporasi belum terserap satu persen pun.
"Kalau stimulus tidak segera dicairkan, maka ekonomi akan kehilangan daya ungkit. Pemerintah sudah benar dalam penyusunan penggunaan anggaran, tinggal eksekusi di lapangan saja yang perlu dipercepat," pungkas Fithra.
(bir)https://ift.tt/3jKr8jX
September 03, 2020 at 08:18AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pemerintah Salah Kaprah Selamatkan Ekonomi RI"
Posting Komentar