
Faisal menjelaskan pemerintahan Jokowi di awal memutuskan untuk memangkas subsidi dan mengalihkan anggarannya pada proyek infrastruktur. Subsidi energi yang sebagian besar berupa subsidi BBM turun drastis dari Rp342 triliun pada 2014 menjadi Rp119 triliun pada 2015.
Dengan reformasi struktural itu, menurut dia, pemerintah memiliki ruang fiskal yang cukup leluasa untuk menambah belanja infrastruktur sekitar Rp 100 triliun. Sebagian sisanya dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dan sedikit untuk kesehatan.
Pembangunan infrastruktur ekonomi yang dilakukan melalui belanja K/L dan belanja non-K/L, menurut Faisal, sebenarnya justru cenderung turun. Melonjaknya belanja infrastruktur melonjak, menurut dia, sebenarnya lebih banyak dilakukan melalui transfer ke daerah dan dana desa, jadi bukan pos belanja pemerintah pusat.
Sementara itu, sosok infrastruktur yang mencolok seperti jalan tol, bandara, waduk, kereta api bandara, kereta cepat Jakarta-Bandung, MRT, dan LRT, menurut Faisal, tidak termasuk yang dibiayai dari transfer ke daerah dan dana desa.
"Jadi dari mana pembiayaan proyek-proyek besar itu? Dari mana lagi sebagian besar pembiayaannya kalau bukan dari BUMN yang ditugaskan," ujar Faisal dikutip dari situs pribadinya, Selasa (29/1).
Tak heran, menurut catatan Faisal, dalam kurun waktu pemerintahan Jokowi pada 2014-2018, utang BUMN sektor nonkeuangan naik 60 persen dari Rp504 triliun menjadi Rp805 triliun pada September 2018. Namun, kenaikan utang BUMN tersebut sebenarnya secara presentase masih lebih rendah dibanding era SBY. Pada 2010-2014 utang BUMN nonkeuangan naik 188 persen atau hampir 3 kali lipat dari Rp175 triliun menjadi Rp504 triliun.
"Sebetulnya peningkatan tajam utang BUMN nonkeuangan era Jokowi tak setinggi era sebelumnya," kata dia.
Faisal mengaku khawatir dengan peningkatan utang BUMN mencapai 4,6 kali dalam satu dasawarsa terakhir. Apalagi, utang BUMN tersebut didominasi mata uang asing.
"Sejumlah BUMN sudah mengalami kesulitan keuangan, terutama BUMN karya," ungkapnya.
Menurut Faisal, dalam jangka pendek dan menengah beban utang tersebut secara tidak langsung akan menekan pembayaran bunga juga turut membebani neraca pembayaran.
"Apalagi BUMN kebanyakan tidak menghasilkan pendapatan valuta asing," jelas dia.
Sementara itu, Kementerian BUMN sebelumnya menjelaskan jumlah utang BUMN, masih berada dalam kondisi aman. Hal ini terlihat dari rasio utang terhadap ekuitas perusahaan (Debt to Equity Ratio/DER).
Berdasarkan data Kementerian BUMN, DER BUMN masih lebih rendah dari beberapa perusahaan lain di industri yang sama. DER BUMN di sektor telekomunikasi hanya 0,77 kali, sementara industri mencapai 1,19 kali.
DER BUMN energi 0,71 kali, sedangkan industri 1,12 kali. DER BUMN transportasi 1,59 kali, industri 1,96 kali. Kemudian, DER BUMN infrastruktur konstruksi dan properti 1,03 kali, lebih rendah dari industri 2,99 kali. Hanya DER BUMN perbankan yang melebihi industri sebesar 6 kali, sementara industri 5,66 kali.
Rasio utang BUMN yang aman, menurut dia, juga tercermin dari Return on Equity (RoE). RoE BUMN sektor telekomunikasi sebesar 29 persen atau lebih tinggi dari industri 21 persen. RoE BUMN sektor bank 15 persen, sementara industri 11 persen. Kemudian, RoE BUMN infrastruktur 13 persen, lebih tinggi dari industri 8 persen. (agi)
http://bit.ly/2ScsMR5
January 30, 2019 at 01:35AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Faisal Basri: Utang BUMN Era SBY Naik Tajam Dibanding Jokowi"
Posting Komentar