Para fan fanatik ini tak sungkan merogoh kocek dalam-dalam, berjuang menabung hingga jutaan, demi memenuhi hasrat mereka: mulai dari mendatangi konser, melengkapi berbagai pernak-pernik, atau mengundi keberuntungan untuk bertemu idola secara langsung.
Jumlah mereka bukan satu-dua orang seperti beberapa dekade lalu. Banyak. Mungkin ratusan ribu orang di Indonesia. Dan sebagian besar adalah remaja.
Lihat saja kala konser K-Pop datang ke Indonesia, seperti pada konser BLACKPINK 'In Your Area' di Jakarta, Januari lalu. Konser itu diadakan dua hari, 19 dan 20 Januari, dan tercatat berhasil menyedot 15 ribu penggemar mereka, BLINK.
Padahal, harga tiket konser tersebut dipatok mulai dari Rp1,1 juta hingga Rp2,5 juta. Berarti, secara kasar, setidaknya promotor mengantongi Rp16 miliar selama dua hari tersebut. Angka ini belum termasuk pendapatan dari merchandise.
Executive Project Officer iMe Indonesia, Samantha, menjelaskan light stick dan kaus adalah merchandise yang paling laku dari konser BLACKPINK.
"Light stick dan kaus itu kayak identitas, hampir di setiap konser dua merchandise itu habis. Kemarin pas BLACKPINK light stick sisa sedikit, karena beberapa penonton sudah ada yang punya," kata Samantha saat ditemui CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Samantha memperkirakan 70 persen dari pengunjung memiliki light stick yang rata-rata dijual Rp300 ribuan, meski tidak semuanya membeli di lokasi karena ada yang membeli secara daring.
Itu baru dari konser. Pencarian CNNIndonesia.com di antara kerumunan K-Popers menemukan kisah lebih 'tajir'. Seperti yang dilakukan oleh seorang perempuan yang hanya ingin disebut H yang mengaku fanatik terhadap boyband VIXX.
Ia mengaku pernah membeli berbagai album VIXX hingga 600 unit dalam sejumlah transaksi hingga total mencapai Rp130,8 juta. Hal itu dilakukannya demi mendapatkan peluang lebih besar memenangkan kesempatan fansign, atau memperoleh tanda tangan dari idola.
Fan BLACKPINK kala mulai mengantri jelang konser Januari lalu. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
|
"Aku paling banyak membeli album itu 78, waktu itu menang undian dan berhasil fansign dengan personel VIXX. Semua album yang aku beli itu album VIXX, enggak pernah coba atau lirik-lirik yang lain," kata H.
Atau yang dilakukan oleh Christie. Wanita karyawan swasta di Jakarta ini telah 'tobat' menjadi K-Popers fanatik. Dulu, kala dirinya jadi fan berat Super Junior dan BIGBANG pada 2010-2014, ia bisa menghabiskan jutaan rupiah dalam sebulan. Padahal, ia masih kuliah saat itu dan mengandalkan uang orang tua untuk bertahan hidup.
"Gue enggak menghitung habis berapa sebulan. Di atas sejuta [rupiah] pasti. Albumnya saja di atas Rp300 ribuan, belum photocard, belum light stick walau cuma sekali beli, dan lain-lain," kata Christie kala mengenang pengeluarannya sebagai mahasiswa untuk K-Pop pada era 2011-an.
Hal itu belum termasuk soal konser dan kegilaannya menginap di hotel bintang lima di Senayan demi "satu hotel" dengan Super Junior yang datang pertama kali ke Jakarta pada 2011 lalu.
Sikap 'royal' dari para fan K-Pop ini menjadi inspirasi bisnis bagi sebagian orang, atau sesama K-Popers. Maka wajar ketika banyak orang dan perusahaan mengkomoditaskan segala hal terkait gelombang budaya Korea atau hallyu ini.
Seperti yang dilakukan Viianti yang menerima jasa titip alias jastip pembelian tiket konser musisi K-Pop yang tampil di Indonesia. Ia ingat pernah membuka jasa pembelian tiket konser Wanna One, GOT7, BLACKPINK, Day6, BTS dan Stray Kids. Tarif jasa titip pembelian bergantung pada seberapa sulit membeli tiket.
Ia mencontohkan tarif titip pembelian tiket konser BLACKPINK dan BTS sebesar Rp200-500 ribu per tiket, karena sulit didapat. Dengan keuntungan tersebut, dalam satu konser omzetnya bisa mencapai Rp200 juta.
Fenomena fanatisme para K-Popers ini juga disadari oleh psikolog Vierra Adella. Dia menyadari bahwa, meski perilaku fandom telah lama ada, namun K-Pop adalah fenomena yang patut dapat perhatian.
"[Hiburan] Korea ini fenomenanya dipoles sedemikian [rupa] sehingga didukung semua [aspek]: media mendukung, bisnis dukung. terus sosial media enggak berhenti. Mereka [industri hiburan Korea] juga produktif," kata Adella kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, baru-baru ini.
Sejumlah penggemar membawa poster Aktor asal Korea Selatan Kim Woo Bin saat mengikuti acara "white Day With Kim Woo Bin In Indonesia" di Jakarta, Sabtu, 14 Maret 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.)
|
"Ini berbeda dengan idola biasa, macam Katy Perry atau Justin Bieber," lanjutnya. "Kalau secara alaminya, ada masa hidup-mati, naik-turun. Kalau Korea ini bukan hanya mengangkat satu figur. Semua sistem bekerja membuat ini menjadi langgeng,"
"Sehingga masyarakat seperti diciptakan sebagai sebuah ladang bagi mereka, sehingga betah di dalam itu berlama-lama," tambah Adella yang menyebut tak jarang dirinya mendapatkan kasus gangguan mental akibat fandom terhadap Korea ini.
CNNIndonesia.com merangkup petualangan kecil menelusuri dan memotret fanatisme para fan K-Pop dalam fokus bertajuk 'Mengeruk Cuan dari Fan K-Pop' untuk edisi awal Februari 2019.
Terlepas dari tindakan masing-masing para fan K-Pop membelanjakan atau mengambil keuntungan dari perilaku ini, fenomena tersebut bisa menjadi alasan mengapa industri Korea mulai memandang Indonesia sebagai pasar potensial selain dari jumlah penduduknya yang banyak.
Selain itu, daya beli yang kencang bisa menjadi indikator lain bahwa masyarakat Indonesia sejatinya memiliki cukup dana untuk membuat dirinya senang, yang dahulu dicap sebagai kebutuhan tersier.
Akan tetapi, perlu digarisbawahi, fenomena keranjingan dan menghabiskan uang untuk hal 'sesaat' yang dilakukan oleh fan sebagian besar remaja ini perlu menjadi perhatian bagi orang tua, lembaga pendidikan, juga pemerintah Indonesia agar efek negatif dari fanatisme ini tak merusak masa depan generasi penerus.
[Gambas:Youtube] (end)
http://bit.ly/2SlRSgn
February 03, 2019 at 03:30PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Crazy Rich' Itu Bernama Fan K-Pop"
Posting Komentar