
Juru bicara TKN Ace Hasan Syadzily mengatakan cara itu mirip dengan yang dilakukan oleh Donald Trump saat menarik simpati publik AS lewat slogan Make America Great Again.
"Semburan hoaks ini by design untuk membangun framing negara kita sudah dikuasai asing, hilang kedaulatan, dan juga pada ambang kebangkrutan. Cara ini mirip dengan strategi firehose of falsehood yang digunakan dalam pilpres AS," ujar Ace di Jakarta, Jumat (8/2).
Ace mengatakan kemiripan antara gaya politik kubu Prabowo dengan Trump bukan kebetulan. Ia mengindikasi kubu Prabowo menjiplak propaganda Trump untuk digunakan di Indonesia.
"Bisa saja untuk kebutuhan itu didatangkan konsultan-konsultan asing untuk mendukung penggunaan propaganda ini," ujarnya.
Kedua, melemparkan pernyataan-pernyataan yang bentuknya partial truth, misleading claim, dan bahkan bohong. Tujuan dari pengulangan itu untuk menghilangkan kepercayaan pada data objektif dan merusak kredibilitas sumber data.
Ketiga, Ace berkata pernyataan itu dikeluarkan secara berulang ulang dan terus menerus sehingga menjangkau banyak orang.
"Keempat, menuduh lawan politik melakukan kebohongan. Kelima, menyentuh sisi-sisi sentimen atau emosional dengan menebar kebencian, keterancaman, dan ketakutan untuk membuat masyarakat bersikap konservatif," ujar Ace.
Propaganda ala Rusia atau dikenal dengan firehouse of falsehood dinilai tidak tepat digunakan sebagai strategi kampanye pada Pilpres 2019. Hal itu terjadi lantaran masyarakat dianggap kian cerdas dalam memilah informasi berbasis fakta atau kebohongan.
Sementara, pengamat Komunikasi dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing membenarkan pembuatan fitnah dan hoaks yang dilakukan secara terus menerus akan memengaruhi masyarakat.
Akan tetapi, jika hal itu terus terbantahkan maka publik lambat laun tidak akan percaya lagi dengan semburan fitnah yang dilancarkan.
"Semburan itu memang akan tertinggal di peta kognisi khalayak dan bisa jadi menimbulkan disonansi kognitif. Ini perlu counter berbasis fakta dan data," kata Emrus dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/2).
Emrus menjelaskan secara pragmatis dalam politik apa pun bisa dilakukan termasuk melakukan semburan kebohongan. Namun, ia berkata dalam konteks komunikasi ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembalikan persepsi publik atas kebohongan-kebohongan yang terus dilancarkan.
"Pasangan yang menjadi korban semburan fitnah harus terus menjadi leading sektor dalam memproduksi isu-isu positif," ujarnya.
Isu-isu positif yang menjadi antitesis semburan fitnah itu juga, kata Emrus, harus diamplifikasi melalui media massa dan media sosial.
"Ini untuk menguatkan kembali keyakinan masyarakat yang otaknya sudah teracuni hoaks dan kebohongan itu," ujar Emrus.
Jokowi sebelumnya menyatakan ada pihak yang menggunakan teknik 'propaganda Rusia' alias firehouse of falsehood dalam Pilpres 2019. Ucapan itu kemudian menjadi polemik di masyarakat.
Teknik propaganda menggunakan kebohongan-kebohongan nyata untuk membangun ketakutan publik secara terus menerus. Tujuan propaganda itu untuk mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawannya.
Istilah Propaganda Rusia populer setelah RAND Corporation menerbitkan artikel berjudul The Russian "Firehouse of Falsehood" yang ditulis Christopher Paul dan Miriam Matthews.
[Gambas:Video CNN] (jps)
http://bit.ly/2GkfLzs
February 09, 2019 at 04:11AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Strategi Semburan Fitnah Dinilai Akan Gagal di Pilpres 2019"
Posting Komentar