Ulasan Film: 'Velvet Buzzsaw'

Jakarta, CNN Indonesia -- Tak berlebihan rasanya jika menyebut menonton Velvet Buzzsaw, film horor-thriller terbaru Netflix, sebagai sesuatu yang sia-sia. Apalagi jika Anda berharap ada hantu, adegan seram, serta efek suara yang membuat bulu kuduk meremang. Efek deg-degan saja tidak ada.

Padahal saya cukup menanti-nanti film yang kembali mempertemukan Jake Gyllenhaal dan Rene Russo dengan sutradara Dan Gilroy ini. Mereka sempat membuat saya terpuaskan lewat Nightcrawler, di mana Gyllenhaal memerankan reporter yang melakukan apa pun demi mendapat gambar bagus sehingga footage-nya dibeli stasiun televisi untuk visual berita.

Kali ini Gyllenhaal memerankan seorang kritikus seni yang nyinyir dan punya standar tinggi. Kritik seninya bisa menghancurkan karier seseorang. Namun suatu waktu, Morf--karakter yang diperankan Gyllenhaal--terpana oleh lukisan yang menurutnya 'hidup.'


Siapa sangka, lukisan itu benar-benar hidup.

Pertama ia membunuh pelukisnya sendiri, Ventril Dease, yang melalui penelusuran Morf mendapatinya sebagai seorang berbahaya. Lalu perlahan, satu demi satu, lukisan itu membunuh orang-orang yang pernah melihatnya, bahkan saat mereka sudah menyingkirkannya.

Mereka terbunuh dengan cara masing-masing, yang tak jauh dari kehidupan mereka.

Salah satu seniman misalnya, terbunuh oleh karya seninya sendiri. Karyanya 'menggerogoti' tangannya sampai putus dan ia meninggal kehabisan darah. Lain seniman, lain cara tewasnya.


Namun tak ada ketegangan di setiap 'iblis' penghuni lukisan akan keluar. Tak ada yang membuat merinding saat satu demi satu seniman terbunuh. Pun tak ada horor di setiap adegan hari berganti dari siang ke malam, yang biasanya membuat para penonton horor mendesah.

Tak hanya itu, gelimang kehidupan seniman di Amerika juga tidak dieksplor maksimal. Betapa glamor atau mungkin galaunya kehidupan para seniman tak dipertontonkan. Itu seakan dianggap cukup hanya terepresentasikan melalui karakter Gyllenhaal yang biseksual.

Padahal seniman tak harus identik dengan orientasi seksual. Apalagi kecenderungan biseksual Mor sama sekali tidak ada hubungannya dengan jalan cerita Velvet Buzzsaw.

Diceritakan sebagai kritikus berpena tajam, komentarnya atas lukisan-lukisan justru terasa dangkal. Tak ada kata-kata dalam kamus seni, tak disinggung pula seniman-seniman tersohor.

[Gambas:Youtube]

Bukan hanya itu, Velvet Buzzsaw juga masih menyimpan tanda tanya di ujung cerita. Bagaimana nasib Piers (John Malkovich) yang di akhir terlihat menggambar-gambar di pasir pantai sementara rekan-rekannya sesama seniman tewas tak jelas? Apa pula makna kucing peninggalan Dease yang akhirnya ikut Coco (Natalia Dyer) pulang ke kampung halaman? Belum lagi nasib kurir yang bertugas mengantar lukisan tapi nyasar ke bangunan tak bertuan.

Misteri lukisan 'hidup' Dease pun tak terpecahkan, tak seperti film horor lain yang membuat penontonnya lega karena ada penjelasan logis untuk ceritanya di akhir.

Gilroy seakan gagal menyusun alur cerita yang koheren dari satu adegan ke adegan lain, bahkan tak berhasil memupuk ketegangan saat horor satu demi satu mulai muncul. Kematian pertama yang ditampilkan pun sama sekali tidak membuat penonton takut atau penasaran.


Velvet Buzzsaw pun tak bisa menandingi viralnya Bird Box, yang sama-sama film orisinal Netflix, tapi sukses mencekam penonton meski sosok penerornya tak berwujud.

Amat disayangkan jika akting Gyllenhaal tersia-siakan dalam film ini. (rsa)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2DZxYQn

February 08, 2019 at 11:31PM

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Ulasan Film: 'Velvet Buzzsaw'"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.