Selama tiga dekade menjabat, Akihito memang dikenal sebagai pendobrak segala tradisi kekaisaran yang kaku di masa sebelum perang dunia.
Hingga akhir kepemimpinannya, Akihito juga dianggap mendobrak tradisi dengan menjadi kaisar pertama yang melepaskan Takhta Seruni dalam dua abad terakhir.
Jauh sebelum ia menerima takhta, Akihito sudah dianggap sebagai pendobrak tradisi dengan menikahi seorang warga biasa, Permaisuri Michiko, pada 1959.
Berbeda dengan sang ayah yang terus berupaya menunjukkan kegagahan Jepang sejak masa perang, Akihito justru membawa pesan perdamaian.
Dalam beberapa kesempatan, Akihito bahkan mengutarakan penyesalan atas peran Jepang dalam perang dunia, satu sikap yang dianggap sebagian orang mencoreng nama ayahnya sendiri.
Ia menerima peran barunya tersebut dengan senang hati. Dengan demikian, Akihito dapat kembali mendobrak tradisi dengan bersentuhan langsung ke rakyat biasa.
Sikap hangat Akihito ini dianggap tak lepas dari peran Michiko, istrinya yang lahir dari kalangan masyarakat biasa.
Keduanya juga pertama kali berjumpa bukan di acara megah kekaisaran, melainkan turnamen tenis. Kabar kedekatan mereka pun selalu menjadi sasaran empuk media Jepang.
Sikap hangat Akihito dianggap tak lepas dari peran Michiko, istrinya yang lahir dari kalangan masyarakat biasa. (Reuters/Itsuo Inouye/Pool)
|
Gaya hidup mereka menjadi acuan bagi anak muda di Jepang. Namun, sebagian kaum konservatif terus melontarkan kritik pedas, terutama di masa-masa awal pernikahan Akihito.
Ketika Michiko melahirkan Pangeran Naruhito pada 1960, mereka juga menolak tradisi kekaisaran untuk menggunakan asisten dalam merawat buah hati mereka. Akihito dan Michiko memilih untuk melihat tumbuh kembang anak mereka sendiri.
Tiga tahun kemudian, Michiko mengalami keguguran karena kritik kejam yang tak hentinya menghiasi berbagai media Jepang.
Di tengah gelombang kritikan tersebut, Michiko menemukan angin segar karena masih ada penggemar setianya yang sangat terkesima dengan sentuhan modern di era kekaisaran Akihito.
Salah satu sentuhan yang merebut hati masyarakat terlihat ketika Akihito berlutut saat mengunjungi korban bencana atau penyandang disabilitas.
Kehalusan tutur kata Akihito memuluskan jalannya untuk membicarakan hal-hal politis yang sebenarnya bukan ranah kekaisaran.
Kehalusan tutur kata Akihito memuluskan jalannya untuk membicarakan hal-hal politis yang sebenarnya bukan ranah kekaisaran. (Reuters/Toru Hanai)
|
Kala melawat China pada 1992, misalnya, Akihito mengatakan bahwa Jepang "merasakan penderitaan rakyat China" akibat sikap Jepang saat perang.
Saat berkunjung ke Korea Selatan, Akihito juga mengaku "sangat menyesali" penderitaan rakyat setempat akibat kebrutalan pendudukan Jepang di Semenanjung Korea pada 1910-1945.
Akihito bahkan mengatakan bahwa di dalam tubuhnya mungkin mengalir darah Korea, satu pernyataan kontroversial karena keluarga kekaisaran Jepang seharusnya berasal dari keturunan murni.
Di akhir masa jabatannya, Akihito sekali lagi mendobrak tradisi dengan muncul di televisi untuk meminta restu rakyat Jepang agar ia bisa melepaskan takhta pada 2016 lalu.
Dalam tayangan tersebut, Akihito mengaku "menghabiskan hari-hari saya untuk mencari dan berkontemplasi mengenai peran yang saya inginkan dalam kekaisaran."
Menutup pernyataannya, Akihito berkata, "Saya dengan tulus mengharapkan pengertian kalian." (has)
http://bit.ly/2DANXUj
April 30, 2019 at 09:44PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Abdikasi Akihito, Akhir Sang Pembawa Modernisasi Kekaisaran"
Posting Komentar