Namun aroma daging sate yang dibakar dan tongseng yang dimasak di atas api arang dalam gerobak pikulan kecil mengembuskan aroma yang sangat khas. Sedap dan menggoda perut yang sedang kelaparan minta diisi.
Pak Budi bukan pemain baru dalam dunia sate dan tongseng. Sudah sejak 33 tahun lalu, Senen Riyanto merintis usaha warung sate ini.
Semua ini diawalinya sejak tahun 1985 lalu di kota kelahirannya, Solo. Dari usaha dagang keliling, Senen akhirnya membuka warungnya di Jakarta dan beberapa cabang lainnya di Jakarta.
Namun Senen kini telah tiada, tak hanya meninggalkan keluarga intinya, dia juga meninggalkan keluarga di warung sate dan juga pelanggan setianya yang selalu rindu untuk menikmati sedapnya sate dan tongseng racikannya.
Bagaimana tidak, Senen punya banyak pelanggan setia yang selalu mengunjungi warungnya saat mereka kangen dengan rasa asli soto dan tongseng Solo. Usaha Senen sejak 33 tahun lalu sukses menggandeng banyak pelanggan yang kini menjadi 'keluarga' barunya.
Kebanyakan dari pelanggannya pun sudah berumur, rata-rata sudah sejak muda mereka menyantap sate dan tongseng buatan Senen. Bagi mereka cita rasa sate dan tongseng buatan Senen yang enak. Tumpukan kenangan yang dikombinasikan dengan makanan lezat dan waktu membuat 'hubungan' mereka bukan lagi sebagai pelanggan dan penjual, tapi jadi keluarga.
Tampuk 'kerajaan' sate dan tongseng Pak Budi kini beralih kepemimpinan. Warung Pak Budi kini dikelola oleh anaknya Eko Setyabudi. Dia menjadi penerus usaha yang dibangun ayahnya dari nol.
"Bapak bekerja keras agar anak-anaknya bisa kerja kantoran dan sukses," kata Eko saat konferensi pers Festival Jajanan Bango 2019 beberapa waktu lalu.
"Maka kami anak-anaknya enggak ada yang awalnya meneruskan usaha bapak."
Namun saat kesehatan Senen mulai menurun, Eko, dengan dukungan ibu dan adik-adiknya menjadi pewaris warung.
"Saya dengan senang hati meneruskan usaha bapak karena sejak dulu sebenarnya sudah ada passion di bidang ini."
Buat Eko, melanjutkan usaha ayahnya bukan hanya bagian dari meneruskan usaha tapi juga melanjutkan dan bentuk perhargaan serta terima kasihnya pada sang ayah.
" Saya itu ikut bapak ibu merintis usahanya di Jakarta sejak usia 2 tahun, dari awal keliling, ngontrak, sampai punya sendiri. Saya lihat dan merasakan perjuangan mereka dan bertanggung jawab untuk melanjutkannya," ucapnya.
"Sekarang saya ingin sekali melanjutkan usaha keras bapak ini. Ibu dan adik-adik saya sudah merestui."
Banting setir
Bagi Eko, meneruskan usaha ayahnya ini bukan hal main-main dan juga bukan jadi pekerjaan sampingannya. Sebaliknya, Eko justru serius menggarap warung sate yang namanya diambil dari nama dia ini.
Pergulatan batin sempat dialaminya. Tiga bulan lamanya dia berusaha untuk menentukan pilihan dan untung-rugi keputusannya. Maklum, sebelumnya Eko adalah seorang pegawai di sebuah maskapai besar dan juga berposisi lumayan. Dia juga sudah bekerja di perusahaan itu selama 8 tahun. Hidupnya sudah mapan.
Namun rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan warung sate dan tongseng Pak Budi ternyata lebih besar daripada panggilan bekerja kantoran. Eko memilih warung ayahnya.
Hanya saja pria berkepala plontos ini sadar, melanjutkan usaha bukan berati ongkang-ongkang kaki dan menunggu pelanggan ayahnya datang dan makan. Berbagai tantangan dan hambatan disadarinya akan 'mampir' ke warung yang dipimpinnya. Bukan hanya ke satu warung tapi tiga warung yang menghidupi 60 orang karyawan ini.
"Sekarang ini makanan luar negeri sudah banyak, persaingan makin ketat," katanya.
"Bapak berikan untuk selalu memberi yang terbaik untuk pelanggan khususnya yang sudah lama."
Sebagai penerus, Eko sendiri mengatakan bahwa dia tak akan mengubah resep otentik yang diwariskan ayahnya. Dia sadar, mengubah bumbu dan resep akan mengubah cita rasa otentik yang sudah bertahun-tahun dijaga dan dicintai pelanggannya.
"Selain bumbunya enggak berubah, saya juga enggak akan mengubah gaya penyajiannya dan masaknya yang masih pakai arang, karena ini kan nostalgia."
Konsistensi ini dijaga dengan membuat bumbu baru setiap hari, dan juga menampilkan cita rasa yang sama di ketiga warungnya.
"Setiap hari, pagi-pagi saya keliling tiga warung untuk mengecek bumbu sate dan tongsengnya sendiri."
Meski demikian, Eko mengaku masih punya PR besar yaitu menggaet anak-anak muda untuk bisa menikmati makanan tradisional. Untuk itu dia sampai saat ini masih berusaha untuk mencari cara meluaskan target marketnya ke kalangan milenial, misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk publikasi warungnya.
Salah satu cara warung tongseng dan sate Pak Budi untuk menarik perhatian kaum muda adalah dengan mengikuti berbagai festival kuliner. Warung Sate dan Kambing Pak Budi hadir dalam Festival Jajanan Bango (FJB) 2019, dan menjadi satu dari 10 penjaja kuliner lintas generasi.
Foto: CNN Indonesia/Christina Andhika Setyanti
Eko Setyabudi, penerus Warung Sate dan Tongseng Pak Budi |
Tantangan generasi penerus kuliner tradisional
Tak dimungkiri regenerasi usaha kuliner tradisional adalah satu hal penting. Tak cuma untuk keluarga pemilik usaha dan keluarganya tapi juga demi kelangsungan dan kelestarian kuliner tradisional itu sendiri.
Foods Director PT Unilever Indonesia Tbk Hernie Raharja mengungkapkan bahwa saat ini sosis kuliner tradisional makin tergerus seiring zaman.
"Permasalahan di masa sekarang ini adalah anak-anak muda yang belum renal makanan tradisional karena tak tahu harus beli di mana. Masalah kedua adalah pedagang kuliner tradisional yang gulung tikar karena tak ada pembeli dan tak ada penerus," ucap Hernie.
"Padahal sekarang ini mint terhadap kuliner tradisional kian meningkat. Para pecinta kuliner kian percaya ragam kuliner Indonesia yang dimasak dengan cara autentik punya nilai lebih soal rasa. Maka, semua kelezatan asli ini terus dicari dan disukai karena cita rasanya yang kaya, unik, dan sangat Indonesia."
Hanya saja tak dimungkiri kalau menjadi generasi penerus usaha bukanlah hal yang mudah.
Eko mungkin hanya satu dari sekian banyak orang yang melanjutkan usaha orang tuanya. Namun sebagian besar masalah yang dialami generasi penerus usaha adalah hal yang mirip atau bahkan sama.
Chef Ragil Imam Wibowo, mengungkapkan bahwa ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk para penerus usaha.
"Yang pasti harus ada semangat dulu. Kalau sudah enggak ada semangat pasti mau lakukan apapun akan sulit," ucapnya.
"Yang kedua, selalu pakai bahan terbaik, jangan pernah kompromi soal hal ini."
Selain itu, senada dengan Eko, Ragil juga mengatakan bahwa menjaga keotentikan dan ke-tradisionalan adalah nilai tambah, namun ini bukan alasan juga untuk tak ikut perkembangan zaman.
Repackage adalah salah satu cara untuk mengikuti zaman dan gaya anak-anak milenial. "Otentik boleh tapi juga harus terawat," katanya.
"Bagaimana untuk packaging marketing, misalnya dengan instastory. Dulu dari mulut ke mulut sekarang bisa digital. Bisa lebih muda di masa penerus dan ujung tombak untuk sustain dan grab anak milenial."
(chs/chs)
http://bit.ly/2DFWrJV
April 30, 2019 at 09:18PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perjuangan Lintas Generasi dalam Semangkung Tongseng Solo"
Posting Komentar