Alarm Deindustrialisasi Nyaring Berbunyi

Jakarta, CNN Indonesia -- Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menuding pemerintah belum optimal mendorong sektor manufaktur sehingga terjadi deindustrialisasi di Indonesia. Bukan menjadi produsen, Indonesia dianggap hanya menjadi pasar yang kebanjiran produk dari negara lain.

Hal itu diungkapkan Prabowo saat debat Pemilihan Presiden (Pilpres) kelima di Jakarta, Sabtu (13/4) malam.

"Telah terjadi deindustrialisasi, kalau negara lain industrialisasi, kita deindustrialisasi. Sekarang Indonesia tidak produksi apa-apa, kita hanya bisa menerima bahan produksi dari bangsa lain, ini keliru, ini harus kita ubah," kata Prabowo dalam sesi debat Pilpres terakhir sebelum masa pemilihan umum.

Klaim Prabowo terbukti, kinerja sektor industri memang merosot dari tahun ke tahun. Sebelumnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur.

Ini terjadi lantaran porsi manufaktur dalam Produk Domestik Bruto (PDB) kian menipis. Bambang mengatakan Indonesia pernah disebut sebagai negara industri karena porsi manufaktur dalam PDB mencapai 30 persen. Namun, angka kontribusinya terus terkikis menjadi tak lebih dari 20 persen.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III 2018 menunjukkan porsi industri manufaktur sebesar 19,66 persen terhadap PDB. Industri manufaktur hanya tumbuh 4,33 persen atau lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 5,17 persen.

"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30 persen terhadap PDB, tapi kini tercatat 20 persen saja meski memang porsinya masih paling besar," jelas Bambang.

Porsi industri terhadap PDB terus turun dalam lima tahun terakhir. BPS mencatat pada 2014 kontribusinya sebesar 21,08 persen, 2015 sebesar 20,99 persen, 2016 sebesar 20,51 persen, 2017 sebesar 20,16 persen, dan 2018 sebesar 19,66 persen.

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras mengamini kondisi tersebut. Bahkan, ia mengungkapkan deindustrialisasi dini yang dialami Indonesia terjadi lebih cepat dari negara Asia Tenggara (ASEAN) lain.

"Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7 persen, yang mana negara sebaya di ASEAN (Thailand dan Malaysia) tidak lebih dari 4 persen," ujarnya.


Ia mengatakan deindustrialisasi dini akan berimplikasi pada tiga hal. Pertama, penerimaan perpajakan menurun. Padahal, manufaktur menjadi sektor penyumbang pajak tertinggi, yakni sebesar 30 persen.

Kedua, daya serap tenaga kerja oleh sektor manufaktur semakin berkurang. Terakhir, pertumbuhan PDB secara agregat tidak dapat terdongkrak naik secara cepat karena kontribusi maupun pertumbuhan manufaktur turun dan tumbuh semakin lamban.

Kondisi deindustrialisasi juga diperparah oleh perubahan pola investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI) yang cenderung berada di sektor tersier.

"Ke depan, Indonesia harus mengatasi tantangan industri dan membaca perkembangan arah industri di masa yang akan datang," ujar Izzudin.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menambahkan deindustrialisasi sebetulnya merupakan fenomena alami di negara maju. Namun, kondisi ini perlu dikaji lagi jika terjadi pada Indonesia yang notabene adalah negara berkembang.


Menurut dia, jika kondisi ini terus berlanjut, Indonesia akan terjebak sebagai negara dengan pendapatan menengah (middle income trap). Sebab, industri manufaktur adalah salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki banyak waktu untuk memanfaatkan momentum bonus demografi guna menggenjot pertumbuhan ekonomi. Bappenas memprediksi puncak bonus demografi akan terjadi tahun depan dan berlangsung hingga 2045.

"Sekali kita tidak tumbuh lebih dari 5 persen, minimal 6-7 persen hingga 2030 yang seharusnya dapat didorong oleh industri, kita akan kehilangan momentum (bonus demografi) ini. Pengaruhnya, kita akan menjadi tua sebelum kaya," tuturnya.

Oleh sebab itu, ia menyarankan pemerintah ke depan fokus pada pembangunan infrastruktur yang mendorong pertumbuhan logistik, yaitu infrastruktur maritim. Selain itu, pemerintah harus memberikan kesempatan bagi swasta untuk berkembang.

Ia menuturkan swasta memiliki keterbatasan meraih dana untuk ekspansi bisnis lantaran terjadi crowding out effect yakni aksi berebut dana antara pemerintah dan korporasi dalam menghimpun dana. Kecenderungannya, sektor swasta tidak kebagian lantaran pemerintah menguasai sekitar 85 persen total obligasi di pasar.

Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi

"Jadi infrastruktur perlu tapi yang sifatnya mengungkit industri dan infrastruktur perlu melibatkan swasta. Selain itu, pemerintah juga harus berinvestasi pada sumber daya manusia," katanya.

Kendati demikian, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai kedua calon belum bisa menyampaikan solusi nyata untuk mengatasi masalah deindustrialisasi.

"Belum ada pernyataan yang kuat bagaimana atau apakah industri menjadi agenda yang kuat atau prioritas utama," jelasnya.

Faisal mengingatkan, upaya revitalisasi sektor industri telah dikumandangkan petahana sejak 2014. Namun, selama lima tahun terakhir, implementasi kebijakan belum terlihat nyata dan daya dorongnya belum kuat ke perekonomian.

"Inginnya seperti infrastruktur yang betul-betul kelihatan," jelasnya.

[Gambas:Video CNN] (lav)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2VFrdK8

April 14, 2019 at 09:17PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Alarm Deindustrialisasi Nyaring Berbunyi"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.