
Apabila dirinci, berdasarkan data Kementerian Keuangan tumpukan utang itu banyak berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), yakni Rp3.776,12 triliun. Atawa sekitar 82,68 persen dari total utang.
Lebih rinci lagi, utang baru pada kuartal I 2019 sebesar Rp177,86 triliun. Porsi penarikan utang itu sudah mencapai 49,51 persen dari target APBN yang sebesar Rp399,25 triliun. Melihat hal itu, tertangkap kesan bahwa penarikan utang dilakukan jor-joran sejak awal tahun.
Wajar, penerbitan SBN dilakukan dengan kebijakan front loading alias penarikan di awal. Hal itu diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani demi mengurangi risiko pasar keuangan di kemudian hari yang berpotensi memengaruhi imbal hasil (yield) SBN yang diterbitkan.
Apalagi, sinyal di pasar keuangan yang tak kondusif tampak dari beberapa negara yang memproyeksikan perlambatan pertumbuhan ekonominya. Sebutlah China dan Uni Eropa. "Jadi, kami ambil pembiayaan yang cukup agresif, mengambil kesempatan market yang positif dengan front loading dalam jumlah besar," katanya belum lama ini.
Kendati demikian, perlu diketahui bahwa kebijakan front loading dalam penarikan utang tidak diharamkan dalam pengelolaan keuangan negara. Berbeda halnya dengan utang rumah tangga, misalnya, yang bijaknya ditarik hanya ketika dibutuhkan (just in time).
Makanya, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menuturkan kebijakan front loading dalam penarikan utang pemerintah dapat dimaklumi. Pasalnya, selain untuk membiayai defisit APBN, front loading dalam jumlah besar juga diperlukan lantaran minimnya penerimaan negara untuk belanja dan membayar utang-utang jatuh tempo.
Bahkan, ia menilai tak bijak apabila membandingkan pengelolaan utang pemerintah saat ini dengan era sebelum krisis moneter 1998. Alasannya, kini pemerintah cukup baik dengan memitigasi risiko utang. Hal itu dibuktikan dengan peringkat surat utang dari beberapa lembaga pemeringkat internasional, seperti S&P, Moody's, dan Fitch Ratings.
Pun begitu, bukan berarti kebijakan utang pemerintah tanpa celah. Tengoklah, proporsi kepemilikan investor asing di dalam SBN. Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 22 April 2019, sebesar 38,3 persen SBN denominasi rupiah masih digenggam investor asing.
Kekhawatirannya, lanjut Piter, struktur utang Indonesia menjadi rentan. Sebab, jika terjadi sentimen eksternal, maka investor asing tak segan-segan melepas kepemilikannya atas SBN domestik. Nah, kalau arus modal keluar dari SBN, maka permintaan dolar AS naik. Ujung-ujungnya, rupiah tertekan.
"Pengelolaan utang seperti front loading, saya kira sudah cukup baik. Hanya saja porsi kepemilikan asing yang harus diperhatikan. Pemerintah sudah harus mendalami pasar keuangan domestik agar porsi asing di SBN rupiah setidaknya bisa 10 persen," imbuh Piter.
Kemana Utang Mengalir?
Jika Piter bilang pengelolaan utang pemerintah sudah cukup baik, namun belum tentu demikian dengan pemanfaatannya. Tengoklah, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), aliran utang justru tak serta merta mengalir deras ke proyek-proyek infrastruktur.
Ekonom UI Faisal Basri menjelaskan sebagian besar utang pemerintah yang berasal dari SBN langsung menjadi instrumen pembayaran belanja negara tanpa disertai peruntukan khusus. Sekarang, mari lihat kinerja belanja negara selama empat tahun terakhir.
Pertumbuhan belanja negara yang terbesar terlihat di belanja barang. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2014, realisasi belanja barang sebesar Rp175,14 triliun. Pada 2018, nilainya melompat menjadi Rp336,97 triliun atau tumbuh 51,97 persen.
Padahal, barang dan jasa habis pakai dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar suatu satuan kerja. Ini artinya, anggaran pemerintah hanya habis di barang-barang yang sekiranya habis selama satu tahun anggaran.
Tak cuma itu, Faisal menuturkan pertumbuhan pengeluaran negara juga fantastis dalam membayar bunga utang. Mengutip LKPP, pembayaran bunga utang yang sebesar Rp133,44 triliun pada 2014, melonjak drastis menjadi Rp258,09 triliun pada 2018.
Berkaca pada data di atas, ia mengaku sangsi tumpukan utang pemerintah empat tahun terakhir mengalir ke sektor produktif. "Akibat pembayaran bunga ini akhirnya bikin pemerintah tidak memiliki keleluasaan untuk meningkatkan belanja lain yang lebih penting," terang dia.
Sementara, komponen belanja modal terkait investasi infrastruktur juga tumbuh. Namun, pertumbuhannya tak sekencang belanja barang dan pembayaran bunga utang. Data Kemenkeu mencatat realisasi belanja modal 2018 mencapai Rp184,87 triliun. Ini artinya, pertumbuhannya cuma 25,97 persen dibanding empat tahun sebelumnya yang Rp146,75 triliun.
Makanya, ia menilai pemerintah cukup boros dalam mengelola belanjanya, yang sebagian berasal dari utang. "Jadi, memang perlu disadari bahwa pemerintah ini boros sekali," tegas Faisal.
Namun, pemborosan itu dianggap risiko di dalam rezim utang yang mengedepankan penerbitan SBN. Keuntungannya, pemerintah masih bisa menentukan arah penggunaan utangnya sendiri.
[Gambas:Video CNN]
Berbeda halnya dengan utang zaman Soeharto, yang pengelolaannya lebih sederhana karena dilakukan secara bilateral dan multilateral. Bahkan, suku bunganya pun masih bisa dinegosiasikan di Paris Club. Yakni, grup informal dari pejabat finansial kakap dari seluruh dunia.
Tetapi, Indonesia sebagai peminjam, saat itu harus rela didikte. Selain itu, utang dari lembaga multilateral pun terbatas, sesuai perjanjian. Hal ini yang disebut kelebihan dan kekurangan dari kebijakan utang zaman Soeharto dan era setelah krisis moneter 1998.
"Bebas merdeka ini tentu ada harganya sendiri," tandas Faisal.
(bir)
http://bit.ly/2IPGx36
April 24, 2019 at 09:31PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Membedel Arus Utang Pemerintah dan Alirannya"
Posting Komentar