Yoga, Dulu dan Sekarang

Ubud, CNN Indonesia -- Yang terlintas dalam benak saat mendengar yoga adalah aneka pose rumit, kelenturan tubuh, hingga iringan musik adem layaknya meditasi. Jauh dari kata ingar bingar.

Namun, kenyataannya jauh berbeda. Yoga tak cuma perkara adem. Gelaran Bali Spirit Festival (BSF) 2019 secara gamblang memberikan banyak menu yoga lintas negara. Masing-masing pelatih membawa yoga dengan gayanya masing-masing. Jarang orang yang menyadari bahwa yang dilakoninya adalah kelas yoga.

Tengok saja orang-orang yang sibuk berjalan dan bergerak-gerak seraya mengulurkan tangan dengan mata yang tertutup ikatan kain di salah satu sudut area BSF 2019 di Ubud, Bali. Bukan sedang main petak umpet, mereka tengah melakoni Blindfold Yoga yang dibawa oleh pelatih asal Australia, Julie Smerdon dan Pete Longworth.

Melangkah menuju Zentral Pavillion, musik berirama cepat terdengar di telinga. Gypsy Bast, guru yoga asal Amerika Serikat, mengajak peserta bergoyang mengikuti aba-aba darinya. Sesekali dia turun panggung dan mendekati peserta. Tak jarang dia berteriak dan tertawa. Suasana terasa cair dan menyenangkan, meski tanpa alunan musik pelan.

Rasa penasaran mengantarkan saya pada kelas Black Metal Yoga. Yang terbayang adalah gerakan yang bakal sekeras musiknya. Pemilihan waktu sesi pun dimulai pada pukul 18.00 WIB, salah satu kelas yoga paling larut di gelaran BSF 2019.

Bertempat di Sky Pavillion, musik cadas diputar. Dentumannya seolah menabrak tebing dan bukit hijau yang menjadi panorama di sekitar area.

"Kalau ada yang tidak nyaman jika saya bilang f*ck, kalian boleh beranjak," ujar Melody Henry, sang instruktur, dari salah satu sisi panggung pada Sabtu (30/3).

Guru yoga asal AS ini punya tampilan sangar. Suaranya tak kalah keras dari musik yang diputar. Henry memulai kelas dengan gerakan tangan ke atas sembari mengambil napas kemudian diembuskan perlahan lewat mulut dan tangan turun bertemu di dada seperti berdoa.

Tak ada gerakan dinamis untuk mengimbangi hentakan irama musik. Tak ada pula moshing yang bikin ricuh.

Henry menginstruksikan postur yoga seperti child pose, warrior pose, atau triangle pose. Meski gerakan terkesan perlahan, statis, dan sama sekali tidak beriringan dengan musik, Henry tetap mendorong peserta untuk bertahan dalam posisi yang statis ini. Kadang ada pula posisi yang cukup melelahkan jika dilakukan dalam waktu lama.

"Ayo, kalian bisa bertahan. Teriak saja kalau mau teriak," teriaknya.

Peserta saat mempraktikkan Blindfold Yoga dalam gelaran Bali Spirit Festival 2019 di Ubud, Bali.Peserta saat mempraktikkan Blindfold Yoga dalam gelaran Bali Spirit Festival 2019 di Ubud, Bali. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari)

Menyambut, para peserta pun tak ragu berteriak ala penyanyi rock. Henry tertawa dan melanjutkan instruksi berikutnya. Musik pengiring sekaligus dorongan dari sang guru yoga membuat peserta bersemangat.

Keringat mengucur. Matras sedikit licin karenanya. Dibanding kelas yoga lain, tampaknya kelas ini yang paling membuat saya berkeringat. Padahal, gerakan yang dilakoni hanya itu-itu saja dan berulang.

Musik kian kencang dan tak jarang Henry meminta kami melompat dari posisi plank (tengkurap seperti awalan push up) ke posisi membungkuk dengan tangan menyentuh matras. Hari semakin gelap. Lampu menyala tak begitu terang sehingga suasana gelap remang melingkupi kelas.

Masuk ke sesi pendinginan, Henry meminta peserta berbaring, rileks, dan mengatur napas. Gerakan membuat tubuh yang agak lelah menjadi cukup segar. Musik boleh keras, tapi gerakan tetap ringan.

Bukan tanpa alasan Black Metal Yoga ini diciptakan Henry. Dia menggemari keduanya: yoga dan musik keras. Baginya, keduanya bukan hal aneh jika digabungkan.

"Idenya, menurut saya tak semua orang merasa bahagia sepanjang waktu, tiap orang punya sisi gelap atau bayangan gelap, sehingga saya mengkombinasikan keduanya," jelas Henry, ditemui usai kelas.

"Lewat musik black metal, tak apa jika Anda berada di sisi gelap, lalu kemudian kembali pada terang atau cahaya."


Yoga sebagai produk budaya

Perkembangan zaman turut membawa perubahan pada yoga. Mulanya adalah Yoga Sutra atau kitab yoga yang berasal dari abad ke-2 SM.

Kitab itu tak menyoal postur sebagaimana yang kini berkembang. Sebanyak 197 sutra atau ayat hanya menyebut bagaimana untuk mencapai hidup bahagia dan seseorang mampu mengontrol pikiran.

"Ada postur, tapi tidak spesifik," ujar pendiri Komunitas Yoga Gembira, Yudi Widdyantoro, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (31/3). Prisipnya, lanjut dia, postur tubuh yang kokoh, tapi dilakukan dengan hati bahagia.

Baru kemudian pada 1400 M, istilah postur mulai muncul. Tulisan memuat hanya 19 postur sederhana. Referensi mengenai postur yoga pun kian merebak menginjak tahun 1959.

"Perlu diingat bahwa yoga adalah produk budaya," kata Yudi. Yoga, kata dia, berkembang seiring perubahan zaman.

"Kalau kini kita melihat, apalagi di BSF, banyak ditemui yoga-yoga yang beragam. Gaya atau jenis bahkan bisa dinamai sesuai nama gurunya," beber Yudi.

Yudi, yang pada gelaran BSF sebelumnya berkesempatan mengisi kelas yoga, mengaku tak heran dengan gaya yoga kekinian. Mulai dari memelintir tubuh, menggantung layaknya terbang, atau dalam air sekalipun. Toh, seperti pohon, meski warna daun, bunga, atau buah yang kian berubah, tapi ada akar yang tetap ada dipertahankan.

Postur atau gerakan hanya bagian kecil dari yoga. Yudi menyebut, postur hanya seperdelapan dari filosofi yoga yang disebut astangga yoga atau delapan tahapan untuk mencapai moksa. Ibarat pohon, asana atau postur adalah bagian dari cabang.

Hal yang sama juga berlaku bagi suasana yang dihadirkan. Yoga tak melulu adem bak meditasi. Seperti Henry yang mencoba menghadirkan suasana gelap dengan dentuman musik cadas, yoga juga bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk.

Meski diiringi oleh musik cadas, gerakan dalam Black Metal Yoga tetap dilakukan dengan tenang. Meski diiringi oleh musik cadas, gerakan dalam Black Metal Yoga tetap dilakukan dengan tenang. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari)

Yang terpenting, kata Yudi, adalah ihwal keselarasan antara pikiran atau keinginan dengan kenyataan. Keselarasan itu pula yang dihadirkan dalam musik pengiring atau suasana yang dihadirkan. 

"Kalau menurut pelatihnya musik keras itu nyaman bagi dia atau kelas dan membawa pada perasaan kesadaran akan kehidupan, ya fine-fine saja," jelas Yudi.

Selain itu, ada pula hal lain yang tak kalah penting. Beberapa hal lain itu di antaranya yama (larangan atau pengendalian diri), nyama (pengendalian diri yang bersifat rohani), pranayama (pernapasan), dharana (penyatuan pikiran), dhyana (meditasi), dan samadi (tercerahkan atau melepas ego).

Ada beberapa unsur dalam pengendalian diri, seperti ahimsa (tanpa kekerasan), satya (kejujuran), asteya (tidak mencuri), dharmacarya (kontrol energi), dan aparigraha.

"Jadi, enggak oke juga kalau yoganya oke, tapi kelakuannya mencuri. Posturnya canggih, tapi berbohong," kata Yudi.

Setiap yogi, kata Yudi, dapat menciptakan gerakan atau postur apapun selama masih berpegang pada filosofi yoga. Toh, lanjutnya, pada perkembangannya, gaya yoga autentik bakal kian sulit ditemukan. Sebab budaya akan selalu mengalami perkembangan.

[Gambas:Video CNN] (els/asr)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2KNQi4H

April 14, 2019 at 02:11AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Yoga, Dulu dan Sekarang"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.