Cerita Kakek Mantan Wartawan yang Ikut Pemilu Sejak 1955

Jakarta, CNN Indonesia -- "Sus sekarang jadi pemulung? Astagfirullah."

Begitulah reaksi seorang lelaki kelahiran Garut, Jawa Barat, sekitar delapan dekade silam, Ayoy Wikarlan, ketika mendengar kabar mengenai profesi, atau lebih tepatnya hobi, Soesilo Toer, adik dari sastrawan legendaris Indonesia, almarhum Pramoedya Ananta Toer.

Maklum saja, ia cukup mengenal keluarga Pram--sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer--meskipun untuk kasus Soesilo Toer ia tidak terlalu baik mengenalnya.

Ia mengaku berteman baik dengan Koesalah Soebagyo Toer dan beberapa kali berbincang dengan Pram, saat mereka menjadi tahanan politik Orde Baru di penjara Salemba.

Ayoy, begitu ia biasa dipanggil, adalah generasi awal yang menjadi saksi hidup sistem politik Indonesia bekerja.

Ia telah datang ke TPS dan 'nyoblos' sejak Indonesia menggelar pemilu yang pertama kali pada tahun 1955.

Meski kini rambutnya telah memutih, bahkan kedua matanya tidak bisa meihat lagi, namun ingatan dan gaya bicara mantan wartawan ini masih sangat bernas untuk manusia seusianya.

Ayoy masih ingat betul bagaimana euforia masyarakat kampungnya di Garut, Jawa Barat saat Indonesia menggelar pemilu perdana.

Seingatnya ada dua kampung yang menjadi basis Masyumi dan PKI, yang meskipun berbeda pilihan namun mereka tetap akur.

Dikatakannya pemilu 1955 layaknya hajatan massal rakyat Indonesia. Semua orang nampak antusias untuk terlibat dalam pemilu.

"Meriah dulu mah, mungkin suasananya kaya 17-an gitu kalau sekarang," kata Ayoy kepada CNNIndonesia.com saat ditemui beberapa waktu lalu. 

Bahkan, ia menambahkan, beberapa partai turut menerbitkan koran sebagai media untuk memberitakan perkembangan dan isu-isu terkait pergerakan kaumnya.

Contohnya adalah Harian Rakyat yang identik dengan PKI atau harian Abadi yang identik dengan Masyumi. Mirip dengan apa yang dilakukan dengan partai-partai saat ini

"Jaman dulu mah juga udah ada hoaks, tapi istilahnya bukan itu. Fitnah mungkin ya? Polanya mah sama aja ya kalau saya perhatikan setiap pemilu," ujar Ayoy.

Namun sayangnya Ayoy tidak terlibat dalam pemilu-pemilu pasca 1955, khususnya saat Orde Baru berkuasa, karena statusnya adalah eks-tahanan politik dan hak berpolitiknya dimatikan.

Ia masih menjabat sebagai redaktur kanal berita dalam negeri di LKBN Antara saat dicap komunis dan dijebloskan ke Salemba tahun 1965.

"Saya dituduh terlibat dalam SB (Serikat Buruh), makanya langsung dijeblosin ke Salemba selama 11 tahun lebih tanpa ada pengadilan. Tapi untungnya saya masih dikasih kesempatan hidup," ujar Ayoy.

"Kus itu dulu di blok R, saya di di blok Q. Kalau pas waktu kerja siang, saya dan Kus sering ngobrol. Nah Pram itu di ruang isolasi bareng sama (Letkol) Untung," lanjutnya.

Ayoy baru bisa terlibat sebagai pemilih saat Orde Baru tumbang di tahun 1998.

Tentu saja tahun ini ia akan kembali datang ke TPS untuk 'nyoblos' menggunakan hak pilihnya. Kali ini ia datang bersama anak cucunya.

Dalam pengamatannya, Ayoy menuturkan masyarakat Indonesia itu lucu dan menyenangkan, karena walau berbeda pendapat pada akhirnya akan tetap rukun.

"Meskipun keliatannya bersitegang, tapi pada akhirnya akan akur lagi. Saya harap sih selanjutnya bisa lebih dewasa lagi, enggak usahlah ribut-ribut gara-gara beda pilihan. Biasa aja," pungkasnya.

(agr/ard)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2Igdzda

April 14, 2019 at 09:50PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Cerita Kakek Mantan Wartawan yang Ikut Pemilu Sejak 1955"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.