
Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Dalam dokumen yang didapat oleh awak media, tertulis bahwa dua komisaris ini Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.
Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways, pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61 persen. Kerja sama itu dilakukan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia terkait penyediaan koneksi wifi.
Dari situ, perusahaan akan mendapatkan pembayaran dari Mahata Aero Teknologi sebesar US$239.940.000. Pembayaran tersebut, US$28.000.000 di antaranya merupakan bagi hasil Garuda Indonesia dengan PT Sriwijaya Air.
Namun, hingga akhir 2018 belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.
Dari pihak Trans Airways berpendapat angka itu terlalu signifikan hingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut belum masuk sebagai pendapatan, perusahaan sebenarnya masih merugi US$244.958.308.
"Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perusahaan membukukan laba sebesar US$5.018.308," tulis Chairal dan Dony dalam surat yang ditujukan kepada manajemen Garuda Indonesia seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).
Dua komisaris ini berpendapat dampak dari pengakuan pendapatan itu menimbulkan kerancuan dan menyesatkan. Masalahnya, keuangan Garuda Indonesia jadi berubah signifikan dari yang sebelumnya rugi menjadi untung.
Tak hanya itu, catatan tersebut membuat beban yang ditanggung Garuda Indonesia menjadi lebih besar untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Padahal, beban itu seharusnya belum menjadi kewajiban karena pembayaran dari kerja sama dengan Mahata belum masuk ke kantong perusahaan.
Chairal mengkonfirmasi keberatan surat itu kepada awak media usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Rabu (24/4).
Ia mengatakan ada dua pendapat yang berbeda dalam penyajian laporan keuangan Garuda Indonesia periode 2018. Chairal sempat meminta agar keberatan itu dibacakan dalam RUPST, tapi atas keputusan pimpinan rapat permintaan itu tak dikabulkan.
"Tadi di rapat minta untuk dibacakan. Tapi pimpinan rapat tidak perlu dibacakan karena ada di dalam laporan komisaris dan dilekatkan di dalam laporan tahunan keuangan," ucap Chairal.
Dia mengaku hanya berupaya melakukan haknya sebagai salah satu komisaris untuk mengecek laporan keuangan. Namun, laporan itu disebut Chairal sudah diterima dalam RUPST oleh pemegang saham.
"Laporan tidak berubah, kan sudah diterima di RUPST. Tapi dengan dua catatan yaitu ada perbedaan pendapat. Itu saja," jelas Chairal.
Dengan perbedaan pendapat seperti ini, Chairal enggan berkomentar terkait posisi Trans Airways ke depannya sebagai pemegang saham di Garuda Indonesia. Menurutnya, hal itu merupakan wewenang dari Chairul Tanjung sebagai pemilik Trans Airways.
"Tanya big boss, bukan wewenang saya untuk jawab," tegasnya.
Ditemui di tempat yang sama, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Gatot Trihargo enggan berkomentar banyak soal dua pendapat yang berbeda terkait laporan keuangan Garuda Indonesia 2018.
"Tanya ke direktur keuangan, kan semua sudah diaudit," ujar Gatot.
Ia menyebut sudah mempertanyakan perbedaan pendapat itu kepada manajemen. Hanya saja, Kementerian BUMN tak bisa ikut campur terlalu jauh karena Garuda Indonesia merupakan perusahaan terbuka.
"Ini kan perusahaan Tbk, kalau non-Tbk kami kan bisa masuk lebih dalam. Kalau Tbk kami nggak (bisa masuk lebih dalam) sebelum pengesahan, kami tahunya setelah audit," jelas Gatot.
Sementara, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal mengatakan keputusan perusahaan untuk memasukkan pendapatan dari Mahata sudah sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Manajemen percaya diri karena sudah diaudit secara independen.
"Laporan PSAK dimungkinkan untuk 2018 walau belum ada pendapatan yang diterima. Ini juga sudah audit independen dengan opini wajar tanpa pengecualian," ucap Fuad.
Ia mengatakan keberatan tersebut terjadi karena perbedaan pendapat antara salah satu komisaris dengan manajemen saja. Namun, mayoritas komisaris diklaim menyetujui laporan keuangan 2018.
Diketahui, Garuda Indonesia membukukan laba bersih sebesar US$809.846 sepanjang 2018. Realisasi berbanding terbalik dengan raihan 2017 yang merugi sebesar US$216.582.416.
Pendapatan perusahaan tahun lalu tercatat sebesar US$3.538.378.852. Angka itu naik dari 2017 yang sebesar US$3.401.980.804.
Pergantian Komisaris dan Direksi
Dalam RUPST ini, pemegang saham juga menyetujui perubahan direksi dan komisaris. Dalam pergantian ini, Direktur Layanan Garuda Indonesia Nicodemus P Lampe berhenti karena masa jabatannya yang sudah habis.
Selain itu, posisi Direktur Teknik Garuda Indonesia I Wayan Susena diganti dengan Direktur Utama PT GMF AeroAsia Tbk Iwan Juniarto. Lalu komisaris dari Trans Airways dikurangi menjadi hanya Chairal.
"Kami padahal mintanya ada dua komisaris (dari Trans Airways). Keputusan jadi satu tanya sama yang memutuskan," ucap Chairal.
Sebelumnya jumlah komisaris berjumlah delapan orang. Namun, sekarang hanya lima orang yang diisi oleh pihak pemerintah satu orang, Trans Air Ways satu orang, dan tiga orang lainnya independen atau bukan dari pemegang saham.
Gatot menyatakan memang ada perampingan jumlah komisaris. Ia enggan menjelaskan lebih lanjut apakah alasan pengurangan karena ada pendapat yang berbeda dari pihak Trans Air Ways terhadap sikap manajemen.
"Kami kan juga berkurang, pemerintah tadinya dua tapi tinggal satu," ucap Gatot.
Berikut susunan direksi baru Garuda Indonesia:
1. Direktur Utama : I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra
2. Direktur Operasi : Capt Bambang Adisurya Angkasa
3. Direktur Teknik & Layanan : Iwan Joeniarto
4. Direktur Human Capital : Heri Akhyar
5. Direktur Niaga : Pikri Ilham Kurniansyah
6. Direktur Kargo & Pengembangan Usaha : Mohammad Iqbal
7. Direktur Keuangan & Manajemen Resiko : Fuad Rizal
Susunan komisaris baru Garuda Indonesia:
1. Komisaris Utama : Sahala Lumban Gaol
2. Komisaris Independen : Herbert Timbo P. Siahaan
3. Komisaris Idependen : Insmerda Lebang
4. Komisaris Independen : Eddy Porwanto Poo
5. Komisaris : Chairal Tanjung (aud/agt)
http://bit.ly/2PuHuz5
April 25, 2019 at 12:45AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dua Komisaris Garuda Indonesia Tolak Laporan Keuangan"
Posting Komentar