
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya berpendapat, insentif pajak di Indonesia lebih banyak diberikan dalam bentuk pembebasan pajak (tax holiday). Padahal, jika insentif pajak diberikan lebih spesifik, maka bisa menjadi instrumen untuk meningkatkan daya saing Indonesia.
"Istilah kami insentif bukan pakai kapak, tetapi pakai pisau bedah sehingga spesifik dan menarik bagi sektor yang ditargetkan," ujar Berly dalam Diskusi Pilpres 2019 Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (UI) di Gedung Rektorat UI Salemba, Kamis (11/4).
Berly mengungkapkan Malaysia dan Thailand menerapkan berbagai insentif pajak yang spesifik. Misalnya, untuk pengembangan Riset dan Pengembangan (R&D), jika perusahaan bekerja sama dengan institusi lokal, perusahaan mendapatkan pemotongan pajak berganda (double tax deduxtible).
"Biaya yang dikeluarkan perusahaan dianggap sebagai pengurang pajak," ujarnya.
Insentif, lanjut Berly, juga diberikan kepada perusahaan yang mengekspor produk di wilayah ASEAN.
"Status perusahaan yang mengekspor ke negara-negara ASEAN itu berbeda insentif pajaknya. Di Indonesia masih tax holiday sebagai andalan," ujarnya.
Pemerintah telah merumuskan kebijakan insentif super deduction tax untuk para pelaku usaha yang berpartisipasi dalam mendukung program vokasi pemerintah serta riset dan pengembangan.
Dalam skema ini, insentif pajak diberikan dengan memperbesar faktor pengurang Pajak Penghasilan (PPh) (tax allowance) secara jumbo agar PPh yang dibayarkan badan usaha makin kecil. Besaran pengurangannya adalah 200 persen dari biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendukung program vokasi maupun R&D.
Namun hingga kini, aturan yang menjadi dasar pelaksanaan skema insentif tersebut belum terbit. (sfr/lav)
http://bit.ly/2U8Beh7
April 12, 2019 at 02:08AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Kejar' Malaysia, Insentif Pajak RI Perlu Lebih Spesifik"
Posting Komentar