
Menurutnya, tiga kartu tersebut baru bisa menjawab kebutuhan masyarakat miskin golongan paling bawah. Namun, program ini belum bisa menyentuh masyarakat rentan miskin.
"Permasalahannya bagaimana orang rentan miskin bisa diangkat. Orang rentan miskin ini, selain dari sosial security ini harus balik lagi ke job creation (penciptaan lapangan kerja), tanpa adanya itu dia bisa turun lagi ke bawah," tuturnya, Kamis (11/4).
Jika pemerintah tidak menjaga kelas masyarakat rentan miskin, maka mereka berpeluang menambah tingkat kemiskinan Indonesia. Namun, baik Jokowi maupun capres Prabowo Subianto belum menawarkan solusi tepat.
Ia mengatakan guna mengangkat kelas masyarakat rentan miskin, maka diperlukan penciptaan lapangan kerja. Ini bisa dicapai jika pemerintah menggenjot pertumbuhan industri manufaktur. Namun, faktanya pertumbuhan industri manufaktur cenderung loyo.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) sebesar 5,04 persen pada kuartal III 2018 secara tahunan. Sedangkan pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil (IMK) naik sebesar 3,88 persen. Pertumbuhan sektor industri ini masih lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama sebesar 5,17 persen.
"Industri manufaktur tidak bisa menyerap tenaga kerja lebih cepat dari sektor jasa. Sektor jasa justru tumbuh lebih cepat sehingga orang-orang yang punya low skill (keterampilan rendah) justru pindah ke sektor jasa. Kalau itu bisa diperbaiki oleh siapa pun presiden yang terpilih, saya rasa masalah kesejahteraan bisa selesai," jelasnya.
Selain masalah penciptaan lapangan kerja, lanjutnya, ketimpangan pendapatan juga menjadi permasalahan kesejahteraan sosial yang mendesak untuk diselesaikan. Meskipun gini ratio yang merupakan ukuran tingkat ketimpangan pendapatan turun, namun penurunan ini menurut dia didorong oleh penurunan pendapatan kelas atas.
Pada September 2018, gini ratio tercatat sebesar 0,384 turun dari Maret 2018 sebesar 0,389. Ia mengungkapkan jika dirinci kembali maka pendapatan 40 persen masyarakat yang berada di kelas terbawah belum terangkat. Lalu, pendapatan 40 persen masyarakat kelas menengah naik, dan pendapatan 20 persen kelas masyarakat atas cenderung turun. Namun, dua pasangan capres itu belum membahas solusi untuk mengurangi ketimpangan tersebut.
"Mereka ingin kurangi kemiskinan dan ketimpangan tetapi caranya tidak mereka bicarakan," tuturnya.
Ia juga menilai ketimpangan di desa masih tinggi, meski pemerintah telah menggelontorkan dana desa. Oleh sebab itu, ia menyarankan penyaluran dana desa harus diarahkan untuk program di luar pembangunan infrastruktur.
"Menurut Bank Dunia justru bantuan seperti PKH efektivitasnya lebih tinggi daripada bantuan langsung tanpa program tertentu," katanya.
Dalam kampanye beberapa waktu lalu, Jokowi menjanjikan program tiga kartu sakti bila terpilih kembali menjadi kepala negara. Pertama, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang akan bisa digunakan para pelajar untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri.
Kedua, kartu pra kerja yang ditujukan untuk para pengangguran, mulai dari lulusan SMA, SMK, hingga perguruan tinggi agar bisa mendapatkan penambahan keterampilan untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, kartu ini juga bisa digunakan bagi pengangguran yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ketiga, kartu sembako murah. Kartu tersebut, katanya, bisa digunakan untuk membeli sembako, seperti beras, gula, minyak, dan lainnya. (ulf/agi)
http://bit.ly/2IiQirl
April 12, 2019 at 01:41AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonom Sebut Tiga Kartu Sakti Jokowi Cuma Solusi Sesaat"
Posting Komentar